Akankah Perempuan Mendapat Keadilan ditengah Sistem yang Melanggengkan Penindasan?

Share it

Bagaimana kebebasan sejati dapat diperoleh perempuan dalam sistem yang sering kali mengikat mereka pada peran tertentu? Kapankah perempuan dapat benar-benar mendapatkan kesetaraan yang begitu lama diperjuangkan? Akankah keadilan dapat diwujudkan bagi kaum perempuan? 

Penindasan kepada perempuan tidak terjadi begitu saja tanpa sesuatu yang mendasarinya. Dalam buku Friedrich Engels “The Origin of the Family, Private Property, and the City” menceritakan bahwa manusia pada awalnya hidup dalam masyarakat komunal yaitu keadaan belum adanya kepemilikan pribadi. Dalam masyarakat ini, perempuan memainkan peran penting karena mereka bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga dan kehidupan komunal. Sistem ini disebut matrilineal, yaitu garis keturunan ditarik melalui perempuan. Perempuan memiliki kontrol lebih besar dalam urusan sosial, ekonomi, dan juga reproduksi. Akan tetapi, seiring dengan berkembangnya sistem produksi terutama dalam pertanian dan domestifikasi ternyata membuka peluang besar terhadap perubahan struktur sosial dan lahirnya kepemilikan pribadi terutama atas tanah dan ternak. Hal ini, memungkinkan pengumpulan kekayaan oleh individu laki-laki. Dengan munculnya konsep kekayaan dan warisan, laki-laki ingin memastikan bahwa kekayaan mereka diwariskan kepada anak-anak mereka. Inilah titik awal sistem patriarki mulai berkembang dan perempuan mulai tersubordinasi. 

Dalam keluarga patriarki, perempuan tidak memiliki kendali atas kekayaan atau properti, dan mereka menjadi semacam “properti” laki-laki itu sendiri. Perempuan kehilangan otonomi mereka dan dipaksa untuk memainkan peran domestik yang pasif, sementara laki-laki memegang kendali atas urusan ekonomi dan sosial. Budaya patriarki ini telah berakar kuat di banyak masyarakat, termasuk Indonesia. Pernahkah kita membayangkan bagaimana awal mula budaya patriarki ini ada di Indonesia yang akhirnya menciptakan struktur hierarki yang mendukung ketimpangan gender?

Di Indonesia sendiri akar patriarki lumayan panjang dan kompleks, berkembang dari sistem sosial dan diwariskan secara turun-temurun. Dalam masyarakat kerajaan, misalnya, perempuan umumnya berada di posisi domestik atau sekunder dalam hierarki sosial dan politik. Bahkan, peran perempuan cenderung terbatas dalam ruang lingkup keluarga, di mana laki-laki memegang kontrol penuh atas keputusan penting, termasuk yang terkait ekonomi dan politik. Hal ini menciptakan pola penguasaan laki-laki yang melanggengkan ketimpangan gender di masyarakat.

Sampai pada pahlawan emansipasi Indonesia, R.A. Kartini yang menjadi salah satu contoh kritis yang menggugat struktur ini. Dalam korespondensinya, Kartini menantang sistem patriarki yang meminggirkan perempuan, seperti dalam isu poligami dan pembatasan hak pendidikan bagi perempuan. Kartini memandang bahwa perempuan juga memiliki hak untuk mandiri dan berpartisipasi dalam ranah publik, serta seharusnya diperlakukan setara dalam keluarga dan masyarakat. Meskipun Kartini terbatas oleh aturan adat dan kondisi sosial pada zamannya, gagasan kritisnya menjadi titik awal bagi kesadaran akan kesetaraan gender di Indonesia.​

Selanjutnya patriarki dalam lingkungan akademik, budaya patriarki yang dapat hadir yaitu seperti diskriminasi terhadap perempuan baik itu dalam hal komentar yang merendahkan intelektualitas atau kemampuan perempuan dalam kegiatan akademik, pelecehan seksual baik verbal maupun non verbal, kemudian kekerasan berbasis gender seperti eksploitasi seksual, pemaksaan tindakan seksual serta serangan seksual atau pemerkosaan. Selain itu, bentuk budaya patriarki dalam pendidikan seringkali menempatkan perempuan pada posisi yang kurang diuntungkan, dengan anggapan bahwa pendidikan lebih penting bagi laki-laki karena mereka dianggap sebagai pencari nafkah utama. Diskriminasi gender ini tampak jelas dalam prioritas pendidikan yang diberikan kepada laki-laki dan dalam representasi gender di materi pembelajaran. Misalnya, saat dibangku sekolah dasar bahkan sekolah menengah profesi seperti pilot, nahkoda, polisi, tentara, pemadam kebakaran, insinyur, mekanik dan sebagainya sering kali digambarkan sebagai pekerjaan yang hanya cocok untuk laki-laki, dimana hal ini memperkuat stereotip gender yang merugikan perempuan. 

Akibatnya, kesempatan perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang setara menjadi terbatas dan pandangan tradisional yang menempatkan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan subordinat terus diajarkan dan dipertahankan dalam sistem pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan upaya serius untuk mengubah paradigma pendidikan agar lebih adil dan inklusif terhadap gender, sehingga dapat mengurangi pengaruh patriarki dalam kehidupan sosial dan pendidikan.

Patriarki juga tidak dapat lepaas dari kurangnya pemahaman seseorang mengenai gender sehingga rentan terjadi bias gender. Penting untuk kita ketahui bahwa Seks dan Gender adalah dua hal yang berbeda. Dalam buku Mansour Fakih yang berjudul “Analisis Gender dan Transformasi sosial” menjelaskan perbedaan mengenai kedua hal tersebut bahwa secara khusus, seks merujuk pada set karakteristik seksual laki-laki dan perempuan yang dipertahankan oleh struktur fisiologis, yaitu organ reproduksi dan kromosom atau dapat disebut atribut yang solid dan tidak berubah. Di sisi lain, gender adalah struktur sosial dengan pemberian peran, mentalitas, dan identitas sosial, yang setiap orang ingin diterapkan atas nama jenis kelaminnya. Jadi, Gender bukanlah sesuatu yang bersifat kodrati, melainkan dibentuk oleh budaya, norma, dan nilai-nilai sosial.

Kekerasan seksual dan gender dalam kapitalisme juga sering digunakan sebagai cara untuk mempertahankan dominasi laki-laki dan menjaga stabilitas struktur ekonomi yang eksploitatif. Penindasan seksual ini sering muncul dalam bentuk diskriminasi gender di tempat kerja, pelecehan seksual, hingga pemaksaan tindakan seksual, yang mana perempuan dianggap sebagai objek daripada subjek. Ini terlihat jelas dalam sistem ekonomi di mana perempuan sering kali mendapatkan gaji yang lebih rendah seperti pada penelitian oleh Erwin Bramana Karnadi., 2020 yang dipublikasikan di web The Conversation “Saya menemukan bahwa perempuan mendapat upah yang lebih rendah dibanding laki-laki di semua usia kerja. Namun, kesenjangan ini semakin lebar pada perempuan berusia di bawah 30 tahun. Perbedaannya bisa mencapai 27,60%.

 

Lalu, bagaimana kemudian kontribusi perempuan dalam ranah produksi kapitalisme?

Untuk membahas kontribusi perempuan dalam ranah kapitalisme, dapat dilihat pada buku karya Silvia Federici yang berjudul “Caliban and The Witch” Pada bukunya tersebut, Silvia Federici mengkritik tesis akumulasi primitif Karl Marx, dimana Marx memandang akumulasi primitif sebagai tahapan awal dari perkembangan kapitalisme, tanah dan alat produksi direbut dari para petani dan buruh sehingga menciptakan tenaga kerja upahan. Namun, menurut Federici, Marx gagal untuk memperhitungkan bagaimana tubuh perempuan dan pekerjaan reproduktif mereka juga menjadi sasaran eksploitasi dalam proses ini.

Federici menekankan bahwa kapitalisme tidak hanya mengakumulasi tanah atau sumber daya alam, tetapi juga memperkuat kontrol terhadap tubuh perempuan, terutama dalam hal reproduksi. Perburuan penyihir (witch hunts) yang terjadi di Eropa pada abad ke-16 dan ke-17, menurut Federici, merupakan salah satu cara kapitalisme untuk menghancurkan sistem reproduktif otonom perempuan dan menggantinya dengan kontrol negara dan agama, yang akhirnya mendukung kapitalisme yang sedang berkembang.

Secara tidak langsung perempuan berperan penting dalam sistem ekonomi, yaitu ranah reproduktif yang dimaksudkan merujuk pada pekerjaan dan tanggung jawab yang berkaitan dengan pemeliharaan kehidupan sehari-hari dan keberlanjutan generasi, seperti mengurus rumah tangga, merawat anak, memasak, membersihkan rumah, serta merawat anggota keluarga yang sakit atau lanjut usia. Pekerjaan ini sering dianggap sebagai “kerja perempuan” dan biasanya tidak dihargai atau diakui secara formal dalam sistem ekonomi kapitalis, meskipun sangat penting untuk mendukung pekerja yang berada di ranah produktif, seperti bekerja di luar rumah untuk menghasilkan pendapatan. 

Selain itu, Federici mengkritik pandangan kapitalis yang mengabaikan pentingnya kontribusi reproduktif perempuan. Ia menjelaskan bahwa kapitalisme tidak hanya mengeksploitasi tenaga kerja langsung, tetapi juga berupaya mengendalikan tubuh perempuan melalui kontrol reproduktif untuk mempertahankan aliran tenaga kerja yang berkelanjutan. Dalam konteks ini, kapitalisme menggunakan tubuh perempuan sebagai sumber daya, yang tidak hanya menghasilkan tenaga kerja di masa kini tetapi juga generasi tenaga kerja masa depan. Tekanan ekonomi dan subordinasi gender ini sering kali juga berujung pada kekerasan berbasis gender (KBG), yang mengakar dalam relasi kekuasaan kapitalistik.

Sudah berapa banyak kasus yang hadir di kondisi saat ini?

Data dari Komnas Perempuan menunjukkan peningkatan kasus yang mengkhawatirkan. Pada tahun 2021, dari total 459.094 kasus yang dilaporkan, 338.496 merupakan kasus kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan. Berdasarkan data tersebut ternyata terjadi peningkatan 50% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 226.062 kasus. Tahun 2022 kembali mencatat kenaikan dengan 339.782 kasus KBG. Kemudian Catahu terakhir adalah pada tahun 2023 yaitu sebanyak 289.111 kekerasan berbasis gender. Angka ini menunjukkan penurunan yang signifikan dari tahun sebelumnya.

Pada 2021 dan 2022, peningkatan signifikan dalam kasus kekerasan berbasis gender (KBG) mencerminkan dampak mendalam pandemi COVID-19 terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Pembatasan sosial yang ketat dan tekanan ekonomi memperburuk situasi kekerasan domestik, terutama kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Selain itu, meningkatnya akses ke lembaga layanan dan kanal pengaduan, serta lonjakan kasus perceraian yang tercatat oleh Badan Peradilan Agama (BADILAG), turut memperlihatkan bahwa semakin banyak korban yang berani melaporkan kekerasan yang mereka alami. Namun, penting dicatat bahwa peningkatan ini bukan semata-mata mencerminkan lonjakan kekerasan, melainkan juga hasil dari peningkatan kesadaran publik serta kampanye yang lebih luas oleh Komnas Perempuan dan organisasi terkait, yang mendorong korban untuk bersuara.

Pada 2023, jumlah kasus KBG mengalami penurunan signifikan menjadi 289.111, tetapi penurunan ini tidak bisa hanya diartikan sebagai tanda perbaikan kondisi. Rendahnya tingkat pengembalian kuesioner dari lembaga layanan dapat menyebabkan under-reporting, sehingga data penurunan kasus belum tentu menggambarkan realitas yang sebenarnya. Selain itu, meski ada pengurangan intensitas kekerasan domestik pasca-pandemi, efektivitas upaya preventif dan penanganan yang lebih baik harus diakui sebagai faktor penting. Penurunan ini dapat mengindikasikan keberhasilan program pencegahan, tetapi juga harus dilihat dengan kritis, karena masih ada tantangan struktural yang membuat banyak korban belum sepenuhnya mendapat akses atau keberanian untuk melapor.

Kasus KBG tidak berhenti disitu saja, meninjau lebih jauh dalam data Komnas Perempuan tahun 2023, kasus kekerasan seksual juga terjadi pada kelompok rentan lain yaitu Perempuan Pekerja Migran Indonesia (PMII) dengan jumlah korban sebanyak 209 dalam rentang usia 18-40 tahun menjadi salah satu kelompok yang terdampak, dengan rentang pendidikan dari SD hingga Perguruan Tinggi. Selain itu, perempuan dengan disabilitas mental juga menjadi kelompok yang paling tinggi mengalami kekerasan seksual. Tidak lupa Kekerasan seksual dengan status perkawinan juga menjadi sorotan dalam laporan Komnas Perempuan.

Masuk dalam lingkup pendidikan, perguruan tinggi tidak lepas untuk menjadi sorotan utama. Survei Kemendikbud Ristek tahun 2020 di 29 kota dan 79 kampus mengungkapkan bahwa 63% kasus pelecehan seksual tidak dilaporkan demi menjaga nama baik institusi. Data Komnas Perempuan periode 2015-2021 juga menunjukkan bahwa KBG di Perguruan Tinggi menempati urutan pertama (35%). Banyaknya kasus yang dilaporkan menunjukkan bahwa Kekerasan Seksual merupakan ancaman yang dapat terjadi di berbagai tempat dan situasi. Tidak ada ruang yang benar-benar bebas dari potensi terjadinya KS, baik itu di rumah, tempat kerja, ruang publik, maupun institusi pendidikan. Lebih mengkhawatirkan lagi, siapapun dapat menjadi korban, tanpa memandang usia, gender, atau latar belakang sosial. Kampus, yang seharusnya menjadi ruang aman bagi para mahasiswa untuk belajar dan berkembang, sayangnya juga tidak bisa lepas dari ancaman ini. Padahal, institusi pendidikan tinggi idealnya merupakan tempat di mana mahasiswa dapat mengejar ilmu dan mengembangkan potensi diri tanpa rasa takut atau terancam.

Namun, realitanya berbeda. Kenyataan bahwa KS bisa terjadi bahkan di lingkungan akademik yang seharusnya edukatif dan protektif menunjukkan betapa mendesaknya kebutuhan untuk menciptakan ruang aman bagi mereka yang menjalankan aktivitas di dalamnya termasuk mahasiswa, dosen dan sivitas akademika lainnya.

Harapan kemudian muncul dengan adanya peraturan yang dikeluarkan oleh menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi Indonesia, Nadiem Makarim di akhir agustus 2021, yaitu Permendikbud Ristek No.30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Sebagai bentuk nyata peraturan ini, dibentuklah sebuah Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (SATGAS PPKS). Pengertian Kekerasan seksual berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) Permendikbud Ristek No.30 Tahun 2021 bahwa “Kekerasan seksual adalah perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal”.

Permendikbud Ristek No.30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi muncul sebagai tonggak penting dalam upaya menciptakan lingkungan kampus yang aman. Aturan ini dihasilkan dari perjalanan panjang advokasi dan dorongan dari berbagai pihak, termasuk lembaga swadaya masyarakat, akademisi, serta organisasi mahasiswa. Peran aktif mereka dalam mengawal aturan ini berangkat dari keprihatinan terhadap meningkatnya kasus kekerasan seksual di kampus yang sering kali tidak diimbangi oleh mekanisme pencegahan atau pendampingan yang efektif.

Universitas Hasanuddin sebagai salah satu kampus bergengsi di Indonesia Timur juga tidak jauh dari kasus kekerasan seksual, sejak terbentuknya Satgas PPKS yaitu November 2022-April 2024 “tercatat 12 kasus terlapor di Satgas PPKS, 1 diantaranya terbukti bukan termasuk kekerasan seksual” Prof Farida dalam wawancara diChannel Unhas-TV. Selain kasus yang tercatat di Satgas PPKS, kasus yang juga terlaporkan pada Komite Anti Kekerasan Seksual Universitas Hasanuddin pada tahun 2021 adalah 16 kasus dan di tahun 2022 adalah 11 kasus dengan berbagai macam bentuk kekerasan seksual. 

Beberapa insiden kekerasan seksual di Universitas Hasanuddin memperlihatkan bahwa kampus, yang seharusnya menjadi ruang aman bagi mahasiswa, ternyata tidak lepas dari ancaman pelecehan. Salah satu kasus yang mencuat adalah pelecehan fisik yang terjadi di sekitar lingkungan kampus, serta aksi tidak senonoh berupa nudisme oleh seorang oknum di area pintu satu Unhas. Kedua kejadian ini mengungkap bahwa kekerasan seksual dalam berbagai bentuk terus terjadi, bahkan di ruang-ruang publik kampus yang mestinya memiliki pengawasan ketat. Fenomena ini menunjukkan bahwa masalah kekerasan seksual bukanlah insiden terisolasi, melainkan bagian dari struktur kekerasan yang lebih besar, yang mengancam keselamatan dan kenyamanan komunitas akademik. Penanganan yang lebih tegas dan perubahan budaya kampus yang lebih inklusif terhadap isu kekerasan seksual menjadi sangat mendesak.

Penting untuk menyadari bahwa dampak pelecehan dan kekerasan seksual tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga mencakup trauma psikologis yang mendalam dan berkepanjangan. Salah satu korban mengungkapkan bahwa mereka merasa takut bahkan hanya untuk berpapasan dengan pelaku. Hal ini menyoroti bagaimana ketimpangan kekuasaan dalam hubungan akademik memperparah kondisi korban. Ketika pelaku adalah seorang dosen yang memiliki otoritas besar, seperti salah seorang Ketua Program Studi, kekuatan dan kuasa ini sering digunakan sebagai alat intimidasi. Korban kerap merasa terjebak dalam posisi di mana perlawanan atau pelaporan dianggap berisiko, bukan hanya karena ancaman nilai buruk, tetapi juga karena ancaman terhadap masa depan akademik mereka secara keseluruhan. Sistem akademik yang hierarkis ini memberi pelaku ruang untuk menyalahgunakan kuasanya, sementara korban terkekang dalam struktur yang melanggengkan ketidakadilan. Kasus ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual bukan sekadar tindakan individu, tetapi bagian dari masalah struktural yang mencerminkan kegagalan institusi dalam melindungi dan memberikan keadilan bagi korban.

Lantas bagaimana lagi peran Kapitalisme Neoliberalisme dalam mendukung kekerasan seksual dalam lingkup perguruan tinggi?

Dalam kapitalisme neoliberal, relasi kuasa berakar pada ketimpangan struktural yang melekat dalam sistem sosial dan ekonomi. Kapitalisme neoliberal menciptakan hierarki di mana kontrol atas sumber daya dan akses terhadap kesempatan ditentukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan, baik secara ekonomi maupun institusional. Dalam lingkungan pendidikan, hierarki ini sering memposisikan mahasiswa sebagai subjek yang berada dalam ketergantungan terhadap dosen atau otoritas kampus. Relasi kuasa ini rentan untuk dieksploitasi oleh pihak yang lebih dominan, menciptakan ketakutan bagi korban untuk melawan atau melaporkan kekerasan yang mereka alami.

Ketika diterapkan dalam konteks kekerasan seksual di kampus, relasi kuasa antara dosen atau staf dengan mahasiswa dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh pelaku untuk mempertahankan kontrol dan melanggengkan kekerasan. Di Universitas Hasanuddin, misalnya, kasus-kasus kekerasan seksual telah menghancurkan rasa aman yang seharusnya dijamin di lingkungan akademik. Kekuasaan yang dimiliki pelaku, baik dalam bentuk ancaman nilai buruk atau intimidasi akademik lainnya, membuat korban merasa tidak memiliki pilihan untuk melaporkan. Dalam sistem yang masih dipengaruhi oleh kapitalisme neoliberal, di mana institusi pendidikan sering kali menempatkan prestise dan reputasi di atas perlindungan individu, isu kekerasan seksual kerap dianggap tabu dan diabaikan. Informasi tentang peningkatan kesadaran dan partisipasi mahasiswa terkait pencegahan kekerasan seksual di kampus, serta tantangan dalam pemahaman layanan pelaporan, dapat ditemukan di situs Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek. Mereka mencatat bahwa lebih dari 260 perguruan tinggi kini memiliki Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Penekanan tentang pentingnya sosialisasi dan kolaborasi juga diuraikan dalam laporan dari Rapat Koordinasi Nasional Satgas PPKS pada Oktober 2023.

Kekerasan seksual bukan hanya soal memahami penyebab dan penanganannya, tetapi juga memahami tantangan yang ada dalam proses penanganannya. Peran dan inisiatif mahasiswa memberikan harapan untuk menciptakan lingkungan yang bebas dari kekerasan dan mengatasi tantangan dalam menangani pelecehan seksual di kampus. Dalam konsep kapitalisme, banyak kasus terjadi pada perempuan karena pandangan masyarakat yang menganggap perempuan dapat dikuasai, diperbudak, dan dieksploitasi oleh laki-laki. Kapitalisme tidak terlalu menempatkan perempuan sebagai kehormatan untuk dijaga. Melainkan kapitalisme hanya menjadikan perempuan sebagai hal yang bisa dieksploitasi. Pelecehan seksual di dunia pendidikan menjadi sorotan karena lingkungan pendidikan seringkali menjadi tempat terjadinya kekerasan dan pelecehan seksual. Institusi pendidikan, yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk tumbuh dan berkembang, justru sering kali menjadi tempat yang menakutkan bagi perempuan dan penyintas kekerasan seksual.

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin (BEM FKM Unhas) dengan tegas mengutuk segala bentuk tindak kekerasan seksual yang merugikan dan mencederai martabat manusia. Kami menyerukan kepada seluruh pihak untuk bersinergi dalam menciptakan lingkungan yang aman, inklusif, dan bebas dari kekerasan. Kami mendorong semua individu untuk berkomitmen dalam upaya pencegahan, serta mendukung korban untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan yang layak. Bersama, kita harus memastikan bahwa setiap ruang adalah tempat yang aman bagi semua orang.

Lembaga mahasiswa memiliki potensi besar untuk membantu saat terjadi kasus kekerasan seksual. Kebungkaman dalam menghadapi kasus-kasus ini bukanlah sebuah solusi, baik dengan alasan menjaga nama baik lembaga maupun alasan lainnya. Sebaliknya, mereka perlu secara proaktif mendukung penyintas dan memastikan bahwa setiap kasus kekerasan seksual ditangani dengan serius dan profesional. Dengan keterlibatan aktif lembaga mahasiswa, diharapkan lingkungan kampus dapat menjadi tempat yang lebih aman dan mendukung bagi seluruh mahasiswa, bebas dari kekerasan seksual dan segala bentuk diskriminasi. Lembaga mahasiswa memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa kampus mereka adalah tempat di mana setiap individu merasa aman dan didukung, dan mereka harus terus memperjuangkan hak-hak penyintas kekerasan seksual dengan tegas dan konsisten. Upaya ini akan menciptakan ruang aman yang esensial untuk kesejahteraan dan perkembangan seluruh civitas akademika.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Referensi:

CATAHU KAKS. 2023. “Catatan Tahunan Komite Anti Kekerasan Seksual Universitas Hasanuddin 2023,” 1–17.

Fakih, M. (2013). Analisis Gender & Transformasi Sosial. Edisi kelimabelas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Garcia-Moreno C, Palitto C, Devries K. 2013. “Global and Regional Estimates of Violence against Women: Prevalence and Health Effects of Intimate Partner Violence and Non- Partner Sexual Violence.” Geneva: World Health Organization.

Iverson, Dervan. 2024. “Momentum Perubahan: Peluang Penguatan Sistem Penyikapan Di Tengah Peningkatan Kompleksitas Kekerasan Terhadap Perempuan.” National Commission Violance Against Women.

Komnas Perempuan. 2023. “Kekerasan Terhadap Perempuan Di Ranah Publik Dan Negara: Minimnya Perlindungan Dan Pemulihan.” Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2022. https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/catahu-2020-komnas- perempuan-lembar-fakta-dan-poin-kunci-5-maret-2021.

Marfu’ah, Usfiyatul, Siti Rofi’ah, and Maksun. 2021. “Sistem Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Di Kampus.” Kafaah Journal 11 (1): 95–106. http://kafaah.org/index.php/kafaah/index.

Palengkahu, Muhammad Rahjay. 2022. “Upaya Pencegahan Pelecehan Seksual Berbasis Mahasiswa Di Lingkungan Kampus Melalui Girls Up Community.” ResearchGate, no. November. https://doi.org/10.13140/RG.2.2.33246.45126.

Praxis. 2022. “Bayang-Bayang Stagnansi, Komnas Perempuan.” Journal of Economic Perspectives 2 (1): 1–4. http://www.ifpri.org/themes/gssp/gssp.htm%0Ahttp://files/171/Cardon – 2008 – Coaching d’équipe.pdf%0Ahttp://journal.um- surabaya.ac.id/index.php/JKM/article/view/2203%0Ahttp://mpoc.org.my/malaysian- palm-oil-industry/%0Ahttps://doi.org/10.1080/23322039.2017.

Rusdianti. 2024. “Momentum Perubahan: Peluang Penguatan.”

Sulistyowati, Yuni. 2021. “Kesetaraan Gender Dalam Lingkup Pendidikan Dan Tata Sosial.” IJouGS: Indonesian Journal of Gender Studies 1 (2): 1–14. https://doi.org/10.21154/ijougs.v1i2.2317.

Tariah, Darmadi. 2024. “VIDEO: Ciptakan Kampus Anti Kekerasan Seksual, Satgas PPKS Unhas Tuntaskan 10 Kasus.” Unhas TV. 2024. https://unhas.tv/video-ciptakan-kampus- anti-kekerasan-seksual-satgas-ppks-unhas-tuntaskan-10-kasus/#google_vignette.

Catahu Komnas Perempuan., 2021. “Bayang-Bayang Stagnansi: Daya Pencegahan Dan Penanganan Berbanding Peningkatan Jumlah, Ragam Dan Kompleksitas Kekerasan Berbasis Gender Terhadap Perempuan”

Catahu Komnas Perempuan., 2022. “Kekerasan Terhadap Perempuan Di Ranah Publik Dan Negara: Minimnya Perlindungan Dan Pemulihan”.

Catahu Komnas Perempuan., 2023. ““Momentum Perubahan: Peluang Penguatan Sistem Penyikapan di Tengah Peningkatan Kompleksitas Kekerasan terhadap Perempuan”.

 

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top