
Bayangan Kapital dibalik Merah Putih
Merah Putih bagai cahaya luka yang menjelma bendera,
Darah yang tumpah dan doa yang menyeruak ke udara,
Namun seratnya kini disusupi kuasa,
Kapital berdiam, menyulap arti makna merdeka.
Tanah ibu ditukar jadi komoditas murah,
Air jernih disegel dengan stempel kapital,
Suara wong cilik terhimpit gedung kaca megah,
Indonesia dilelang perlahan dalam bahasa modal.
Segelintir berpesta di atas tumpukan emas
berjuta tangan kosong meraih ilusi
sekolah dan rumah sakit menjelma pasar keras
luka rakyat dicatat dingin di ruang birokrasi
Tol berkilau, gedung menjulang, angka pertumbuhan
dipuja sebagai bukti negeri melesat
padahal utang berlapis, kedaulatan tercabik tumpuan
kemajuan hanya topeng di wajah yang penat
Mari kembali pada tanah yang melahirkan kita
pada semangat gotong royong yang tak ternilai harganya
jangan biarkan bayangan kapital menelan cahayanya
biarlah Merah Putih berkibar murni, untuk rakyat selamanya
Puisi ini bermakna bahwa bendera Merah Putih merupakan simbol kebangsaan yang telah kehilangan sebagian maknanya karena dominasi logika pasar. Gambar-gambar seperti “tanah yang ditukar jadi komoditas”, “air jernih disegel dengan stempel kapital”, serta “tol berkilau, gedung menjulang, angka pertumbuhan” menegaskan kontras antara simbol kemerdekaan dan kenyataan sosial-ekonomi yakni pembangunan yang dipuji seringkali berlangsung bersamaan dengan privatisasi sumber daya, pengikisan hak-hak rakyat kecil, dan akumulasi utang yang mengurangi kedaulatan nasional.
Secara ideologis puisi ini mengkritik penerapan neoliberalisme, yakni prioritas kepada modal, pasar, dan keuntungan yang menggeser perhatian dari kepentingan kolektif ke kepentingan segelintir aktor. Nada puisi beralih dari pengamatan menjadi seruan moral: mengembalikan nilai-nilai bersama seperti gotong royong, menegakkan pengelolaan sumber daya untuk kesejahteraan umum, dan memastikan bahwa kemajuan ekonomi tidak mengorbankan hak-hak rakyat