Harga Tubuh di Pasar Dunia

Di balik cahaya kota dan janji kemajuan,

tangan-tangan perempuan jadi roda yang berputar.

Mereka menenun laba dalam sunyi pabrik besi,

sementara hidupnya digadai atas nama pertumbuhan.

 

Di layar iklan yang gemerlap, wajah mereka dipoles,

cantik dijadikan nilai tukar, senyum jadi komoditas.

Di balik slogan kebebasan dan pilihan tanpa batas,

identitas perempuan dikurung dalam citra konsumtif.

 

Dan di desa yang jauh dari pusat laba,

perempuan menjaga tanah yang makin gersang.

Modal besar menanam pabrik, menumbangkan pohon harapan,

hingga mereka kehilangan hak atas bumi dan diri sendiri.

 

Di rumah yang sunyi, waktu mereka terbelah dua,

antara kerja yang digaji dan kerja yang dilupakan.

Kelelahan disembunyikan di balik senyum pengabdian,

karena cinta pun kini diukur dengan produktivitas.

 

Di ruang keputusan yang dingin dan maskulin,

suara perempuan jadi gema yang dipotong setengah.

Kebijakan lahir tanpa mata air empati,

membiarkan ketimpangan tumbuh di bawah bendera kemajuan.

 

Namun dari retakan sistem itu, suara mereka bangkit,

menyulam solidaritas dari serpih ketidakadilan.

Perempuan menulis ulang arti kemerdekaan,

bahwa nilai manusia tak bisa ditukar dengan pasar.

Makna Puisi:


Bait 1 : Bait ini menggambarkan bagaimana neoliberalisme masuk melalui industrialisasi dan menjadikan tenaga kerja perempuan bagian dari mesin kapitalisme global. Perempuan mulai terjebak dalam logika ekonomi yang mengorbankan kesejahteraan demi pertumbuhan.

Bait 2 : Setelah perempuan menjadi pekerja, neoliberalisme juga menyerang ranah simbolik — tubuh dan citra perempuan dijadikan alat pemasaran. Ini melanjutkan eksploitasi, bukan hanya pada tenaga, tapi juga identitas.

Bait 3 : Ketimpangan ekonomi akibat neoliberalisme merembet ke desa dan sektor agraris, tempat perempuan sering kehilangan sumber penghidupan. Dari kota ke desa, mereka sama-sama menjadi korban sistem yang meminggirkan.

Bait 4 : Dampak neoliberalisme tak hanya di ruang publik, tetapi juga di rumah. Perempuan memikul beban ganda — bekerja demi ekonomi pasar dan tetap dituntut memenuhi peran domestik — memperlihatkan bahwa sistem ini menindas di dua ranah sekaligus.

Bait 5 : Ketimpangan gender terus berlanjut di tingkat struktural, di mana keputusan politik dan ekonomi didominasi oleh perspektif maskulin. Hal ini memperkuat rantai ketidakadilan yang sudah dimulai sejak bait pertama.

Bait 6 : Akhirnya, dari semua penindasan itu tumbuh kesadaran kolektif. Perempuan mulai bersatu, melawan sistem neoliberalisme, dan menuntut nilai kemanusiaan yang sejati — menutup lingkaran puisi dengan nada harapan dan perubahan.

Scroll to Top