
Di bawah panji globalisasi,
lahirlah kapitalisme, tak terbendung arusnya,
mencipta dunia konsumen yang terpaku pada tanda,
melihat nilai pada citra, bukan pada guna.
Di negeri-negeri utara, pemodal menguasai,
sementara selatan menunduk, tak punya kuasa,
jurang semakin lebar, ketidakadilan membara,
dalam dunia yang penuh ilusi nyata.
Pasar bebas menjadi panggung permainan,
di mana negara terdiam, tak lagi jadi pelindung,
membiarkan modal bebas berlalu,
merambah tanah tanpa sekat, tanpa ragu.
Lalu kita, manusia di tengahnya,
jadi hamba bagi produk dan tanda,
kehidupan dipandang dari sisi konsumi semata,
makna diri terbungkus barang yang tak punya nyawa.
Dalam bayang kemajuan, tersembunyi risiko,
hidup dalam ketidakpastian, tak bisa berpaling,
kita terjebak dalam lingkaran yang semakin sempit,
terasing dalam hedonisme, mimpi yang berkelit.
Kapitalisme ini tak hanya ekonomi,
ia mencipta budaya, nilai, dan logika,
memisah kaya dan miskin,
menjauhkan kita dari identitas yang otentik, yang intim.
Hidup kini tak lebih dari deretan iklan,
membentuk keinginan, tak pernah puas, tak pernah cukup,
di era konsumsi ini, diri hanyalah ilusi,
terkikis perlahan, hilang makna sejati.