Luka di Bumi Pasar Bebas

Hutan ditebang, dijual dalam lelang,

atas nama pasar, atas nama “kemajuan”.

Sungai dipaksa mengalirkan racun,

seperti urat nadi yang diperdagangkan.

 

Udara dijadikan komoditas,

napas manusia ditukar laba,

sementara langit retak,

awan kehilangan warnanya.

 

Neoliberalisme menulis janji manis

di papan iklan kota,

tapi di desa-desa yang kering

tanah menangis tanpa suara.

 

Bumi bukan lagi rumah,

ia dihitung sebagai aset,

pohon ditakar dengan kurs,

laut disamakan dengan angka saham.

 

Di balik gedung kaca yang memantulkan cahaya keangkuhan,

ada tanah retak, ada anak lapar,

ada bumi yang terus berteriak—

tapi tak terdengar di telinga mereka yang memuja pasar.

Makna Puisi: 

Puisi “Luka di Bumi Pasar Bebas” menggambarkan kritik terhadap neoliberalisme dan kapitalisme global yang menjadikan alam serta kehidupan manusia sebagai komoditas ekonomi. Melalui citra-citra alam seperti hutan ditebang, sungai beracun, dan langit retak, puisi ini menyoroti kerusakan lingkungan dan ketimpangan sosial akibat kebijakan pasar bebas yang berorientasi pada keuntungan.

Bagian akhir menampilkan kontras tajam antara kemewahan kota dan penderitaan desa, menunjukkan bagaimana keuntungan segelintir orang dibayar dengan penderitaan banyak pihak dan kehancuran bumi. Secara keseluruhan, puisi ini merupakan jeritan ekologis dan sosial, mengajak pembaca untuk menyadari bahwa di balik retorika “kemajuan ekonomi”, bumi dan manusia sedang terluka

Scroll to Top