
Membangun Kampus Hijau: Narasi dari Diskusi "Trasholution: From Waste to Climate Win!"
Sampah bukan hanya sekadar benda yang kita buang tanpa pikir panjang, tetapi cerminan dari cara kita hidup dalam sistem yang memprioritaskan konsumsi di atas keberlanjutan. Kapitalisme telah menciptakan siklus yang mendorong produksi barang-barang sekali pakai dengan harga murah, hanya untuk dibuang beberapa saat setelahnya. Akibatnya, dunia kita, termasuk lingkungan kampus, menghadapi krisis sampah yang terus berkembang.
Namun, ada secercah harapan yang muncul dari diskusi yang telah diadakan pekan lalu. Sebuah kajian mendalam tentang pengelolaan sampah di kampus sebelumnya telah menjadi dasar bagi diskusi ini, yang mengundang tiga narasumber dengan latar belakang yang beragam untuk berbagi wawasan dan pengalaman.
Diskusi ini dirancang sebagai ruang dialog yang komprehensif, menggali solusi praktis, mengevaluasi program yang sudah berjalan, dan menginspirasi partisipasi mahasiswa. Dipandu dengan hangat oleh moderator yang memahami esensi topik ini, Apriliani Mustirah, diskusi mengalir dengan lancar dan menghadirkan narasi yang penuh makna tentang bagaimana kampus dapat menjadi contoh pengelolaan sampah yang berkelanjutan.
Narasumber pertama adalah seorang praktisi lingkungan yang memiliki peran dalam program bank sampah di kampus, yakni bapak Basir, SKM., M.Sc.. Narasumber kedua, Winarni Syahruddin, seorang seniman dan penyelenggara Makassar International Writers Festival 2024, membahas pengelolaan sampah melalui seni dan literasi. Narasumber ketiga, Azzahara Fitria Auliyyah, seorang mahasiswa dan juga ketua dari Forkom KL FKM Unhas yang aktif mengadvokasi pengurangan plastik, memberikan pandangan kritis terhadap program kampus yang telah berjalan.
Diskusi dimulai dengan sebuah refleksi: apa yang telah kita capai sejauh ini dalam upaya mengelola sampah kampus? Dan bagaimana langkah berikutnya untuk memastikan perubahan yang berkelanjutan?
Langkah Strategis Menuju Kampus Hijau
Pembicaraan dimulai dengan paparan dari narasumber pertama yakni bapak Basir, seorang ahli manajemen lingkungan yang menekankan pentingnya penerapan konsep green campus. Kampus, menurutnya, harus menjadi pionir dalam menciptakan lingkungan yang bersih dan berkelanjutan. Ia menguraikan langkah-langkah strategis yang melibatkan pemetaan sumber sampah, integrasi teknologi ramah lingkungan, serta penguatan kebijakan pengelolaan limbah domestik.
Namun, ia juga menyoroti tantangan yang dihadapi. Dalam dialognya dengan mahasiswa angkatan 2023, ia menggali lebih dalam tentang efektivitas edukasi yang telah diberikan oleh dosen. Ia bertanya, “Setelah mendapatkan edukasi ini, apakah cara pandang kalian terhadap sampah berubah? Dan apa langkah konkret yang sudah kalian lakukan?”
Respons mahasiswa menunjukkan adanya kemajuan, meskipun masih banyak ruang untuk perbaikan. Edukasi, menurutnya, adalah kunci untuk memastikan keberlanjutan program ini di masa mendatang.
Pengolahan Sampah dan Festival Sastra Internasional
Ketika narasumber kedua mulai berbicara, diskusi mengambil warna yang berbeda. Ia membawa peserta ke Makassar International Writers Festival 2024, sebuah perhelatan yang berhasil menjadikan isu sampah sebagai bagian dari dialog seni dan sastra. Di tangan narasumber ini, pengolahan sampah tidak lagi hanya tentang angka dan metode, tetapi tentang cerita, cerita tentang bagaimana manusia dan lingkungan saling terkait.
“Setiap sampah memiliki cerita, dan cerita itu bisa menjadi alat perubahan,” katanya, menggugah imajinasi. Ia membuktikan bahwa literasi adalah salah satu alat terkuat untuk mengubah cara pandang masyarakat terhadap lingkungan.
Komitmen yang Harus Dijaga
Narasumber ketiga membawa diskusi kembali ke ranah praktis. Dengan penuh semangat, ia mengkritisi program kampus yang masih kurang optimal dalam mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. “Kita perlu bertindak lebih tegas. Plastik bukan hanya masalah fisik, tetapi juga simbol dari pola pikir yang harus diubah,” ujarnya.
Ia mengajak mahasiswa untuk memulai dari tindakan kecil, seperti membawa botol minum sendiri, menghindari penggunaan kantong plastik, dan mendukung kebijakan kampus yang lebih pro-lingkungan. “Perubahan dimulai dari kebiasaan, bukan dari kebijakan semata,” tambahnya.
Diskusi mencapai puncaknya saat sesi tanya jawab, di mana narasumber pertama memberikan tantangan kepada BEM FKM UNHAS. Ia meminta organisasi mahasiswa ini untuk terus mengawal isu pengelolaan sampah dalam periode-periode berikutnya. “Kampus kita harus menjadi contoh, dan itu hanya bisa terjadi jika kalian, mahasiswa, bersedia menjaga api ini tetap menyala,” katanya.
Acara ini berakhir dengan rasa optimisme yang membara. Para peserta meninggalkan ruang virtual dengan ide-ide segar dan semangat baru untuk menciptakan perubahan. Diskusi ini bukan sekadar berbicara tentang sampah, tetapi tentang tanggung jawab kita sebagai bagian dari komunitas akademik untuk mewariskan lingkungan yang lebih baik.
Sampah adalah cerminan dari budaya kita, tetapi melalui aksi kolektif, ia dapat menjadi simbol perubahan. Di kampus ini, visi tentang masa depan hijau mulai terbentuk, dan kisah ini baru saja dimulai.