
“Kelas Internasional di Universitas Hasanuddin lahir sebagai simbol ambisi global: pendidikan berkualitas tinggi dengan standar internasional. Namun, di balik janji manis itu, muncul realitas yang penuh tantangan. Apa yang seharusnya menjadi ruang belajar eksklusif dengan fasilitas unggulan malah memunculkan pertanyaan mendasar: apakah kelas ini benar-benar memenuhi tujuan idealnya?”
Sejak resmi menyandang status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) pada 2017, Universitas Hasanuddin mendapatkan keleluasaan dalam mengelola berbagai aspek akademik, termasuk pembukaan Program Sarjana Kelas Internasional. Program ini digadang-gadang mampu membawa Unhas ke panggung global dengan jalur non-subsidi, menawarkan berbagai keunggulan seperti double degree dan international exposure. Beberapa program studi unggulan, seperti Manajemen, Akuntansi, Ilmu Hukum, Pendidikan Dokter, dan Kesehatan Masyarakat, turut mengadopsi konsep ini sebagai bagian dari upaya menjadikan Unhas sebagai “World Class University.”
Namun, realitasnya tidak seindah yang dijanjikan. Di tengah tantangan operasional, seperti minimnya peminat dan ketimpangan fasilitas, kelas internasional menghadapi kritik terkait implementasi yang dianggap lebih berorientasi pada keuntungan finansial daripada prinsip pendidikan yang inklusif dan berkeadilan. Model pembiayaan yang mengandalkan mahasiswa dengan UKT tinggi, dan sistem seleksi berdasarkan kemampuan bahasa Inggris, memunculkan kesenjangan di antara mahasiswa.
Jalur penerimaan mahasiswa melalui program kelas internasional menawarkan beberapa keunggulan yang cukup menjanjikan seperti double degree dan international exposure ke universitas mitra internasional. Penyelenggaraan program kelas internasional di Universitas Hasanuddin memperlihatkan bagaimana sistem pendidikan semakin dipengaruhi oleh prinsip-prinsip yang memprioritaskan keuntungan dan eksklusivitas. Dalam hal ini, kelas internasional menuntut mahasiswa untuk membayar biaya UKT yang jauh lebih tinggi dibandingkan kelas reguler, dengan janji kualitas pendidikan yang lebih baik.
Hubungan antara prinsip ekonomi pasar dan program pendidikan tercermin jelas dalam perancangan kelas internasional. Program ini hanya dapat diakses oleh mahasiswa dengan kemampuan finansial tinggi atau keterampilan bahasa Inggris yang memadai. Akibatnya, pendidikan yang dilabeli ‘berstandar internasional’ menjadi eksklusif bagi kelompok tertentu, sementara mayoritas mahasiswa, terutama yang berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah, tidak memiliki kesempatan yang setara. Situasi ini mengungkap kesenjangan yang semakin dalam, diperburuk oleh pendekatan pendidikan yang lebih mengutamakan logika pasar dan daya saing. Dengan demikian, pendidikan semakin menjauh dari prinsip keadilan dan kesetaraan akses yang seharusnya menjadi prinsip utama.
Untuk mencapai status world class university, Universitas Hasanuddin meluncurkan program kelas internasional dengan tujuan meningkatkan kualitas fasilitas, metode pembelajaran, dan lulusan yang mampu bersaing ditingkat global. Berbagai pihak di Unhas berupaya keras untuk mempersiapkan program ini agar mendukung visi besar tersebut. Namun, kenyataannya, implementasi di lapangan menghadapi banyak tantangan yang tidak sesuai dengan harapan. Khususnya di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), program kelas internasional terkendala minimnya jumlah pendaftar. Universitas juga gagal memenuhi sejumlah janji utama, seperti program international exposure dan fasilitas pembelajaran yang optimal. Salah satu syarat pembukaan kelas internasional adalah minimal lima mahasiswa terdaftar, tetapi realitanya, jumlah pendaftar jauh dibawah target. Akibatnya, program ini tidak dapat dilanjutkan, dan mahasiswa yang mendaftar dialihkan ke kelas reguler. Keputusan ini memicu ketidakpuasan karena janji awal, seperti pembelajaran dalam bahasa Inggris, kelas terpisah, program double degree, serta peluang international exposure, tidak terealisasi. Hal ini meninggalkan kekecewaan mendalam di kalangan mahasiswa kelas internasional yang sebelumnya memiliki ekspektasi tinggi terhadap kualitas pendidikan berstandar internasional. Mahasiswa mengungkapkan bahwa janji penggunaan bahasa Inggris sebagai pengantar, peluang international exposure, serta program double degree hanya menjadi angan-angan. Sebaliknya, mereka justru digabungkan ke kelas reguler tanpa perbedaan berarti dalam metode pengajaran maupun fasilitas, meskipun biaya yang dikeluarkan jauh lebih besar. Situasi ini semakin diperburuk oleh kurangnya komunikasi dan transparansi dari pihak fakultas, yang menimbulkan rasa diabaikan dan frustasi di kalangan mahasiswa. Akibatnya, banyak mahasiswa merasa dirugikan, baik secara finansial maupun akademis, karena kualitas pendidikan yang mereka terima tidak sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan.
Rektorat mengeluarkan kebijakan baru terkait penyelenggaraan kelas internasional di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM), yang menetapkan bahwa kelas internasional harus tetap berjalan. Hal ini merupakan bentuk respon yang dilakukan pihak rektorat setelah dilakukannya aksi ‘Perguruan tinggi berburu harta : 10 dosa besar unhas’ dan dialog mahasiswa dengan rektorat pada tanggal 29 Mei 2024, salah satu permasalahan yang dibahas yakni permasalahan kelas Internasional di Unhas. Untuk menanggapi kebijakan ini, solusi yang diberikan oleh pihak rektorat kepada pihak fakultas yakni dengan memindahkan beberapa mahasiswa reguler ke kelas internasional. Pemindahan ini dilakukan dengan kriteria seleksi berdasarkan kemampuan bahasa Inggris, yang diukur melalui nilai English Diagnostic Test (EDT), serta kategori pembiayaan mahasiswa yang termasuk dalam golongan UKT tinggi.
Mahasiswa reguler digabung dengan mahasiswa kelas internasional untuk menutupi biaya operasional yang diperlukan. Pembiayaan untuk kelas internasional berbeda dengan kelas reguler, terutama dalam hal pembayaran dosen yang dilakukan secara tunai dan membutuhkan anggaran lebih besar. Metode ini dirancang untuk mengakomodasi kebutuhan kelas internasional, seperti penyediaan dosen dengan pembelajaran yang lebih spesifik dan penggunaan metode pengajaran yang berbeda. Meskipun mahasiswa dengan UKT tinggi disertakan, jumlah lima mahasiswa saja tidak cukup untuk menutupi biaya penyelenggaraan kelas internasional.
Dr. Hasnawati Amqam, SKM., M.Sc. selaku Kaprodi FKM Unhas melakukan komunikasi dengan pihak keuangan, diperoleh bahwa minimal 15 mahasiswa dengan UKT tinggi diperlukan agar pembiayaan kelas internasional dapat terpenuhi. Oleh karena itu, pihak fakultas mencari hingga 19 mahasiswa dari hasil seleksi EDT, kemampuan bahasa Inggris, dan kategori UKT tinggi. Selain itu, rektorat telah memberikan dana bantuan untuk pembiayaan kelas internasional, termasuk pengembangan media pembelajaran dan mendatangkan dosen asing ke Unhas. Langkah yang dilakukan oleh pihak fakultas yakni dengan mengundang seorang dosen dari Universiti Putra Malaysia (UPM) untuk mengajar mata kuliah Kesehatan Lingkungan, yang pembiayaannya ditanggung oleh pihak universitas. Dengan adanya bantuan dari rektorat, kelas internasional diusahakan untuk tetap berjalan melalui penggabungan beberapa mahasiswa reguler dengan mahasiswa kelas internasional. Namun, penggabungan ini memunculkan ketidakselarasan dalam sistem pembiayaan dan fasilitas yang diberikan. Terdapat mahasiswa reguler yang tetap membayar UKT tanpa perubahan, tetapi mendapatkan fasilitas yang sama dengan mahasiswa kelas internasional, meskipun biaya yang dibayarkan oleh mahasiswa kelas internasional jauh lebih tinggi. Dr. Hasnawati Amqam, SKM., M.Sc. selaku Kaprodi FKM menegaskan pelaksanaan program ini dengan mengatakan, “Pembukaan kelas internasional ini harus segera dilaksanakan karena telah diperintahkan dari rektorat untuk membuka dan telah disediakan dananya.”
Setelah pihak fakultas mendapatkan 19 mahasiswa yang memiliki nilai EDT tinggi (500an) ternyata tidak semua mahasiswa dengan nilai EDT tinggi berminat untuk bergabung ke kelas bahasa Inggris. Tim Pengawalan Isu Internal telah mewawancarai mahasiswa yang memiliki nilai EDT tinggi untuk menanyakan alasan mereka tidak ingin ikut serta dalam kelas bahasa Inggris. Alasan yang diungkapkan oleh mahasiswa reguler pada saat itu diantaranya, “takut tidak bisa bertahan dalam proses belajar,” “takut nilai IPK menurun,” dan “tidak fasih dalam berbahasa Inggris.” Berdasarkan hal tersebut, hanya beberapa mahasiswa yang ingin bergabung, tetapi jumlah tersebut tidak memenuhi syarat minimal lima mahasiswa untuk membuka kelas bahasa Inggris.
Menindaklanjuti situasi ini, Tim Pengawalan Isu Internal kembali mewawancarai Dr. Hasnawati Amqam, SKM., M.Sc. selaku Kaprodi FKM Unhas, yang memberikan jawaban, “Jika hanya sedikit yang bergabung, kami akan membuka pendaftaran secara umum bagi mahasiswa reguler yang ingin berkesempatan bergabung dalam proses belajar di kelas bahasa Inggris dengan menyebarkan formulir online.” Argumentasi Kaprodi menunjukkan bahwa kelas bahasa Inggris ini dibuka dengan tergesa-gesa tanpa mempertimbangkan jumlah mahasiswanya secara matang.
Fakultas menyebut solusi ini sebagai ‘Kelas Bahasa Inggris’. Hingga saat ini, kelas berbahasa Inggris tersebut diikuti oleh 9 mahasiswa reguler, dan 1 mahasiswa dari jalur kelas internasional. Meskipun solusi ini telah berhasil menjaring lebih banyak peserta, justru memunculkan berbagai pertanyaan. Apa yang membedakan kelas ini dengan kondisi sebelum adanya kelas internasional? Faktanya, mahasiswa kelas internasional kembali digabung dengan mahasiswa reguler dalam satu ruang kelas yang sama, dengan fasilitas serupa, tetapi dengan biaya yang berbeda. Keputusan ini menimbulkan ketimpangan dan kebingungan di kalangan mahasiswa.
Situasi yang mirip terjadi pada angkatan 2024, di mana tidak ada mahasiswa yang mendaftar sebagai peserta kelas internasional. Kondisi ini memaksa PJ untuk kembali membuka wawancara guna membahas masa depan kelas bahasa Inggris. “Bagi mahasiswa angkatan 2024, dikarenakan tidak ada yang mendaftar sebagai peserta kelas internasional dan hasil tes EDT yang masih dibawah target penilaian, kami memutuskan untuk menggunakan metode perekrutan yang sama seperti angkatan 2023, yakni dibuka secara umum,” ujar Kaprodi FKM dalam wawancara bersama PJ.
Banyak sekali masalah yang belum terselesaikan sebelumnya, dan hingga hari ini, masalah lainnya justru bertambah. Salah satu di antaranya adalah terkait international exposure. Karena minimnya komunikasi yang dilakukan, salah satu mahasiswa kelas internasional baru mengetahui saat berada di semester akhir informasi terkait international exposure sebagai syarat kelulusan mahasiswa. Informasi ini diperoleh saat menghubungi salah satu mahasiswa kelas internasional ia mengatakan bahwa “Peraturan dari rektorat mahasiswa kelas internasional harus ikut international exposure sebagai syarat lulus dan itu disampaikan setelah saya sudah ada di semester akhir tidak ada lagi waktu untuk ikut yang seperti itu”, solusi yang ditawarkan dari pihak fakultas adalah dengan mengikuti program berbahasa inggris secara online untuk bisa mendapatkan sertifikat sebagai syarat telah mengikuti international exposure. Selain itu terkait biaya international exposure yang dikeluarkan oleh salah satu mahasiswa kelas internasional yang mengikuti international exposure Dr. Hasnawati Amqam, SKM.,M.Sc. selaku Kaprodi FKM Unhas menyatakan, “International exposure itu sejak awal wawancara sudah disampaikan bahwa hal tersebut menggunakan uang pribadi, bukan dibiayai oleh fakultas. Yang dibiayai oleh fakultas hanyalah fasilitas yang disediakan dan dosen pengajarnya.” Namun, pernyataan Kaprodi ini berbeda dengan yang disampaikan oleh mahasiswa kelas internasional, yang mengatakan bahwa, “Sejak awal wawancara tidak ada informasi yang disampaikan bahwa international exposure menggunakan uang pribadi.” Mahasiswa kelas internasional ini menganggap bahwa biaya pembangunan ditambah UKT sudah mencakup seluruh proses belajar-mengajar di kelas internasional. Hal tersebut dapat diperkuat dengan ucapan Direktur Pendidikan Unhas, Dr. Ida Leida Maria, SKM., M.KM., menjelaskan bahwa “ada keuntungan tersendiri yang calon mahasiswa baru dapatkan melalui Kelas Internasional Unhas. Mahasiswa berpeluang untuk mendapatkan atmosfir belajar pendidikan internasional, dimana bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Inggris.”
Di Tahun kemarin, tepatnya tanggal 16 November 2024 mahasiswa kelas bahasa Inggris mengikuti kegiatan study tour ke Universitas Putra Malaysia, yang diselenggarakan oleh pihak fakultas. “Kegiatan ini diprioritaskan bagi mahasiswa kelas internasional sebagai bagian dari program international exposure” ucap Kaprodi FKM. Untuk menggali lebih dalam mengenai aktivitas yang dilakukan selama di Universitas Putra Malaysia, PJ membuka komunikasi dengan beberapa mahasiswa. Salah satu mahasiswa menyebutkan bahwa “kegiatan ini dilakukan selama sepekan yang biayanya seperti tiket perjalanan dan penginapan ditanggung oleh rektorat, ada banyak aktivitas yang seru dilakukan seperti kuliah umum tentang pengelolaan dan pengendalian penyakit menular serta sistem hukum di Indonesia, program lingkungan Let’s Go Green seperti mendaur ulang bahan-bahan, dan pengalaman langsung di laboratorium.”
Alih-alih menyelesaikan masalah yang ada, perubahan kelas internasional menjadi kelas bahasa Inggris justru membuka kotak pandora baru yang lebih rumit. Langkah ini diambil dengan alasan bahwa fakultas telah memenuhi kriteria, tetapi persiapan yang minim justru menunjukkan kurangnya pertimbangan matang dalam pengambilan keputusan. Keputusan ini diambil terlalu tergesa-gesa, seolah hanya berfokus pada label baru tanpa memperhatikan berbagai detail penting yang seharusnya diprioritaskan .
Program yang dirancang untuk mewujudkan visi pendidikan berstandar internasional ini justru memperlihatkan kegagalan dalam implementasi minimnya peminat dan tidak terealisasinya janji awal seperti international exposure dan program double degree. Lebih jauh, penggabungan mahasiswa Kelas Internasional dengan Kelas Reguler tanpa perbedaan signifikan dalam fasilitas atau kualitas pendidikan menimbulkan pertanyaan besar mengenai transparansi dan keadilan dalam pelaksanaannya.
Masalah ini semakin mencerminkan orientasi birokrasi pendidikan yang berfokus pada logika pasar. Sebagai PTN-BH, Unhas terlihat lebih memprioritaskan profitabilitas ketimbang komitmen untuk menyediakan pendidikan yang inklusif dan berkeadilan. Perubahan nama Kelas Internasional menjadi Kelas Bahasa Inggris tidak menyelesaikan akar masalah, tetapi justru membuka tantangan baru, seperti kurangnya kesiapan fakultas, minimnya komunikasi, dan tumpang tindih kebijakan.
Melihat Kompleksitas masalah kelas internasional di FKM Unhas, maka dari itu BEM FKM UNHAS memandang bahwa:
- kepada Dekanat perlu untuk mempertimbangkan kembali dibukanya jalur pendaftaran kelas internasional agar tidak terjadi lagi perbedaan biaya yang dikeluarkan mahasiswa jika nantinya akan digabung dalam kelas bahasa inggris.
- Mengkritik segala bentuk neoliberalisasi pendidikan di lingkungan kampus, salah satunya terkait dengan tingginya UKT mahasiswa kelas internasional yang tidak sebanding dengan fasilitas yang mereka terima.
Dengan banyaknya lika-liku yang dihadapi dan belum terselesaikan hingga tuntas, BEM FKM UNHAS menyatakan sikap untuk terus mengawal kondisi kelas bahasa Inggris ke depannya, serta menuntut keadilan dalam pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi mahasiswa kelas internasional dan mahasiswa kelas bahasa Inggris (reguler) dengan pertimbangan penyesuaian fasilitas belajar mengajar yang didapatkan. Memperjuangkan hak adalah tanggung jawab bersama untuk memastikan keadilan dan kesetaraan. Ketimpangan akan terus tumbuh. Maka, mari berdiri, bersuara, dan menegakkan hak-hak yang menjadi milik kita. Perubahan hanya akan terwujud dengan keberanian untuk bertindak dan memperjuangkan keadilan.
Referensi
Universitas Hasanuddin. (2020). Unhas Menerima Mahasiswa Kelas Internasional Tahun Akademik 2020/2021. Diakses dari Unhas Menerima Mahasiswa Kelas Internasional Tahun Akademik 2020/2021 – Hasanuddin University.