Mencegah Lebih Baik daripada Mengobati : Puskesmas bukan hanya tempat menyembuhkan sakit, tapi juga harapan menyelamatkan kualitas hidup di tengah arus neoliberal yang ganas

Share it

Selama bertahun-tahun, Indonesia telah menerapkan strategi pelayanan kesehatan primer dan esensial untuk mengatasi tantangan kesehatan masyarakat termasuk ketidakmerataan dalam tingkat kesehatan, akses ke layanan kesehatan antar wilayah, serta antar strata ekonomi. Strategi ini dimulai secara resmi dengan pendirian Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) pada tahun 1968 sebagai langkah awal yang terstruktur dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan di seluruh Indonesia.

Indonesia merupakan salah satu dari 140 negara yang melakukan kesepakatan internasional pada tahun 1978 pada Deklarasi Alma Ata. Deklarasi ini dihasilkan dari Konferensi Internasional tentang Pelayanan Kesehatan Primer di Kota Alma Ata, Kazakhstan yang didukung oleh WHO dan UNICEF. Primary Health Care (PHC) atau Pelayanan Kesehatan Dasar diperkenalkan oleh WHO pada tahun 1970-an dengan tujuan meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. Menurut Deklarasi Alma Ata, PHC adalah titik awal kontak individu, keluarga, atau masyarakat dengan sistem pelayanan kesehatan. Hal ini sejalan dengan Program Indonesia Sehat melalui Pendekatan Keluarga dan Gerakan Masyarakat (GERMAS). Di Indonesia, penyelenggaraan PHC dilaksanakan melalui Puskesmas yang tersebar di wilayah kecamatan dan kelurahan dengan menerapkan pendekatan life cycle approach yang fokus pada promosi kesehatan dan pencegahan, serta memperkuat Unit Kesehatan Ibu dan Anak (UKBM).

Menurut Permenkes No. 43 Tahun 2019 menyebutkan bahwa Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat (UKM) dan upaya kesehatan perorangan (UKP) tingkat pertama dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif di wilayah kerjanya. Hadirnya Puskesmas telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat sehingga Puskesmas bukan hanya sekadar bangunan fisik, melainkan simbol harapan akan kesejahteraan dan kesehatan. Puskesmas sebagai ujung tombak dalam menyelenggarakan UKM diharapkan dapat menjadi pusat edukasi dan pencegahan penyakit bagi masyarakat sekitar.

Berdasarkan hasil kajian dari Buku Penguatan Pelayanan Kesehatan Dasar di Puskesmas yang dikeluarkan oleh Kementerian PPN/Bapenas 2018. Dari tahun 1968 hingga 2000, Puskesmas dikelola dan dikembangkan oleh pemerintah pusat. Pembangunan infrastruktur, penempatan tenaga kerja, dan pengadaan obat-obatan untuk Puskesmas diatur melalui Instruksi Presiden (Inpres). Dengan sistem Inpres ini, distribusi Puskesmas tersebar merata di hampir setiap kecamatan. Namun, kebijakan berubah sejak dilaksanakannya desentralisasi pada tahun 2000. Pengelolaan dan pengembangan Puskesmas dialihkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota. Sejak saat itu, perkembangan Puskesmas bervariasi tergantung pada komitmen dan kapasitas keuangan daerah tersebut. Salah satu permasalahan utama adalah kurangnya atau tidak memenuhinya standar jumlah sumber daya manusia (SDM) yang dibutuhkan oleh Puskesmas.

Perubahan Orientasi Puskesmas

Sejak desentralisasi, terlihat juga bahwa anggaran untuk UKM di daerah tergolong kecil. Sebagian besar pengeluaran kesehatan daerah digunakan untuk pelayanan kuratif (UKP), pembelian barang modal, belanja pegawai, belanja barang dan jasa. Pengeluaran untuk pelayanan kesehatan masyarakat sangat terbatas dan terbagi-bagi untuk program kesehatan masyarakat seperti imunisasi, gizi, keluarga berencana (KB), pengendalian malaria, tuberkulosis (TBC), HIV/AIDS, kesehatan lingkungan, dan lain-lain.

Puskesmas Tamalanrea merupakan salah satu contoh Puskesmas yang sumber anggarannya berasal dari BOK, APBD, dan JKN. Berdasarkan hasil wawancara dengan bendahara Puskesmas Tamalanrea, pada tahun 2023 Dana BOK yang bersumber dari Anggaran Pemerintah Pusat sebesar Rp. 901.652.000.00 digunakan untuk menunjang UKM atau program-program yang ada di Puskesmas seperti biaya transport dan pembelian/belanja barang untuk mendukung pelaksanaan kegiatan upaya kesehatan promotif dan preventif di   luar gedung. Dana APBD sebesar Rp. 354.840.000 dan JKN sebesar Rp. 1.174.355.280 digunakan untuk belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal.

Pada tahun 2014, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diperkenalkan, dan Puskesmas ditetapkan sebagai penyedia Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama BPJS. Dalam Permenkes No.71 Tahun 2013 ditetapkan bahwa Puskesmas adalah FKTP yang bekerja sama dengan BPJS dan harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan komprehensif yang sifatnya adalah pelayanan perorangan. Pelayanan kesehatan komprehensif yang dimaksud meliputi pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, pelayanan kebidanan, dan pelayanan kesehatan darurat medis, termasuk pelayanan penunjang yang meliputi pemeriksaan laboratorium sederhana dan pelayanan kefarmasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

Dalam era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Puskesmas mengelola dana kapitasi yang digunakan untuk UKP. Hal ini menyebabkan beban kerja Puskesmas lebih fokus pada pelayanan kesehatan individu (UKP) daripada menjalankan peran utamanya sebagai penggerak upaya kesehatan masyarakat (UKM). Sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama BPJS, Puskesmas memiliki tanggung jawab untuk menyediakan layanan kuratif individu kepada peserta BPJS termasuk pelayanan medis/klinis dan pelayanan promotif/preventif individu.

Banyak yang menyatakan bahwa saat ini kegiatan Puskesmas lebih didominasi oleh pelayanan kepada peserta BPJS, administrasi sistem pelaporan pelayanan klinis (P-Care) dan kekurangan waktu untuk kegiatan di luar gedung (UKM) yang mana terdapat insentif yang cukup besar dalam dana kapitasi yang digunakan untuk jasa pelayanan sebanyak 60% dan 40 % untuk biaya operasional serta penguatan UKP. Berdasarkan wawancara bersama Dr. Balqis, Skm., M.Sc. PH., M.Kes yang mengatakan :

“kompleks permasalahan apalagi di daerah, tidak bisa kita langsung menghakimi kenapa ini tidak pernah turun lapangan, masalahnya kan banyak, beban kerja juga termasuk, bagaimana caranya dia pergi ke ke lapangan kalau tugasnya saja di Puskesmas memeriksa belum selesai”

Sementara itu, kegiatan upaya kesehatan masyarakat saat ini bergantung pada anggaran Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang terdapat dalam DAK non-fisik, yang jumlahnya relatif kecil dan tidak mencakup komponen biaya pelayanan. Dengan kekurangan tenaga kesehatan masyarakat, intensitas kegiatan UKM kalah jauh dibandingkan dengan kegiatan pelayanan kesehatan perorangan (UKP).

Puskesmas yang saat ini masih kekurangan tenaga Kesehatan Masyarakat maka tugasnya akan diambil alih oleh tenaga kesehatan yang ada seperti Bidan dan Perawat. Hal ini membuat penurunan produktivitas dari UKM karena peningkatan beban kerja bidan dan perawat yang juga memberikan pelayanan kepada peserta Jaminan Kesehatan Nasional serta tanggung jawab tambahan dalam menyusun laporan administrasi. Seperti yang dikatakan oleh Ibu Dr. Balqis, Skm., M.Sc. PH., M.Kes yaitu :

“Kalau puskesmas ya SKM atau M.Kes karena kenapa karena memang dia diajar manajemen beda fokusnya itu orang yang diajar manajemen yang fokusnya memang diajarkan memang untuk medis. SKM basic-nya itu dia belajar leadership, manajemen, artinya dia punya dasar ilmu untuk itu bagaimana me-manage orang kalau dokter fokusnya pada yang medis mengobati orang”

            Perubahan orientasi Puskesmas juga dipengaruhi oleh paradigma masyarakat yang masih didominasi oleh paradigma sakit. Masyarakat masih lebih cenderung pada pengobatan maka pemerintah juga harus menyesuaikan sehingga fokus pelayanan kesehatan masih lebih banyak diarahkan pada kuratif dan rehabilitatif daripada promotif dan preventif. Masyarakat masih belum sepenuhnya menyadari bahwa mereka dapat menggunakan layanan kesehatan untuk upaya pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan. Dari hasil wawancara bersama salah satu pegawai Dinas Kota Makassar yaitu Ibu Desi Rosmalah yang mengatakan :

“puskesmas itu tempatnya promotif preventif yg saat ini terjadi terbalik, tapi mengubah paradigma susah sekali, orang sakitpi baru ke puskesmas adakah orang sehat ke puskesmas? itu yang saya perjuangkan selama 10 tahun di puskesmas tapi tidak berhasil juga karena sendirija….sekarang ini perlahan pemerintah ada yang namanya rekomendasi pelayanan primer, dibuat posyandu prima supaya orang ke puskesmas bukan karena sakitpi”..

Sebagai contoh, masyarakat dapat mengunjungi puskesmas bukan hanya untuk berobat tetapi juga untuk memeriksa status kesehatan mereka. Dengan demikian, masalah kesehatan dapat diidentifikasi dan dicegah sejak dini untuk mencegah terjadinya penyakit. Selain itu, pola penyakit juga telah berubah seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat. Jika sebelumnya mayoritas penyakit yang dialami adalah penyakit infeksi, sekarang lebih cenderung kepada penyakit degeneratif. Penyakit-penyakit ini timbul akibat gaya hidup yang seharusnya dapat dihindari.

Sebab-sebab Masuknya Kapitalisme Neoliberalisme di Puskesmas

Pemerintah menyadari pentingnya peran Puskesmas dan mengatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas pasal 9 ayat (1), yang mewajibkan pendirian Puskesmas di setiap kecamatan. Artinya, minimal satu Puskesmas harus didirikan di setiap kecamatan. Dengan posisi strategis Puskesmas dan alokasi sumber daya finansial yang signifikan, pengaruh kapitalisime neoliberalisme mulai masuk secara perlahan tanpa disadari oleh pihak internal Puskesmas sendiri.

Keterbatasan Jumlah Sumber Daya Manusia

Puskesmas dengan fokus utama pada promosi dan pencegahan penyakit sering kali melibatkan kegiatan di luar gedung puskesmas. Tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas merasakan masih kurangnya jumlah sumber daya manusia untuk melakukan kegiatan tersebut. Dalam sebuah wawancara pada salah satu tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas Antara bernama St. Mariani, S.Kp,M.Kep mengatakan :

 “ Disini bukan lagi double job tapi  five job, contoh saya ini perawat, saya di TU, saya pimpin PPK, saya di Program TBM usia produktif”.

Sebagai pelaksana utama dalam layanan kesehatan tingkat pertama, Puskesmas menghadapi tidak hanya keterbatasan tenaga kesehatan, tetapi juga kekurangan tenaga non-kesehatan seperti staf administrasi atau TU. Keterbatasan ini berarti tenaga kesehatan juga harus mengambil peran dalam tugas administratif puskesmas, yang semakin membebani mereka di tengah kekurangan sumber daya manusia kesehatan.

Namun, dalam kegiatan pelayanan kesehatan di Puskesmas masih ada ketidakpuasan dari pasien terhadap pelayanan yang belum memenuhi harapan masyarakat. Ketidakpuasan ini bisa disebabkan oleh kebersihan ruang tunggu dan ruang perawatan yang kurang memadai, serta kelalaian petugas dalam menangani pasien. Keterlambatan dalam menangani keluhan pasien juga disebabkan oleh kapasitas terbatas dari Puskesmas tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa kapasitas terbatas berdampak pada peningkatan antrian pasien, yang memungkinkan terjadinya nepotisme dalam pelayanan kesehatan. Dari hasil wawancara dengan pasien Puskesmas Tamalanrea atas nama Bapak Nazar yang mengatakan :

“Pernah saya sakit gigi dan ingin dicabut tetapi diberi saran untuk minum obat beberapa hari dan beberapa hari kedepan kembali ke puskesmas tetapi dirujuk ke RS. Alat-alat ada tapi tidak difungsikan hanya diberi rujukan tapi saya tidak ambil karena kalau ke RS antri panjang lebih baik saya lansung ke klinik saja karena pelayanananya lebih bagus”.

Pernyataan yang sama dikatakan oleh Bapak Dian Saputra Marzuki, SKM., M.Kes. yaitu :

“….sudah banyak keluhan antri lama, dokter terlambat datang, petugas yg tidak ramah. Bagi masyarakat yang memiliki ekonomi yang baik lebih memilih ke klinik karena pelayanannya yg lebih baik”.

Permasalahan selanjutnya adalah lonjakan pasien yang datang untuk berobat sementara Puskesmas mengalami kekurangan sumber daya manusia dalam memberikan perawatan kepada pasien, yang mengakibatkan responsivitas pelayanan yang kurang optimal terhadap pasien yang datang.

Puskesmas juga terlibat dalam pekerjaan yang detail dan teknis seperti beban administratif, terutama dalam hal melaporkan kegiatan seperti SP2TP, SPJ DAK non-fisik, dan pelaksanaan JKN/BPJS. Tugas-tugas ini ditangani oleh tenaga yang tersedia yang sebagian besar adalah perawat dan bidan akibatnya mereka sering hanya fokus pada mencapai target dan menyusun laporan. Ini akan menyebabkan kelelahan karena rutinitas, kompleksitas, dan tugas yang menumpuk sehingga mempermudah neoliberalisme masuk ke dalam Puskesmas.

Kapasitas Sumber Daya Manusia

Pegawai di Puskesmas sering kali terjebak dalam kompleksitas dan detail dari laporan yang banyak, sehingga kapasitas mereka lebih terfokus pada aspek teknis. Mereka berusaha keras untuk menjalankan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang tertera dalam SOP Puskesmas atau regulasi lainnya. Dengan kata lain, mereka cenderung hanya mengikuti aturan yang sudah ditetapkan tanpa banyak ruang untuk inisiatif atau kreativitas. Kepatuhan ini tercermin dalam kutipan wawancara bersama Ibu Fatmawati, SKM. di Puskesmas Tamalanrea Jaya mengenai dana JKN sebagai berikut :

“Jumlahnya itu tidak tentu, berapa dikasih dari Dinas berapapun itu yang dikelola tergantung juga beda beda Ke Puskesmas”.

Puskesmas sebagai pelaksana teknis dalam urusan kesehatan di tingkat pertama terlihat sangat taat dan optimis terhadap kebijakan BPJS Kesehatan. Dalam konteks ini, Puskesmas tidak mempermasalahkan berapapun jumlah dana kapitasi yang diberikan kepada mereka.

Struktural organisasi puskesmas

Secara hierarkis, Puskesmas berada di bawah pengawasan Dinas Kesehatan, sehingga mereka cenderung mematuhi semua instruksi yang diberikan oleh Dinas tersebut. Meskipun sebenarnya mereka ingin menolak, namun mereka tidak berani untuk menolak instruksi yang sebenarnya mereka belum mampu untuk dilaksanakan. Puskesmas juga menghadapi tantangan dalam menambah jumlah sumber daya manusia (SDM) mereka. Proses penambahan SDM di Puskesmas harus memperoleh izin dari Dinas Kesehatan terlebih dahulu, seperti yang diungkapkan dalam pernyataan Ibu Fatmawati, SKM. sebagai berikut :

…kan keterbatasan tenaga juga…kurang, jadi doule job jadi kita tidak ada alasan, pokoknya kalau yang atasan bilang kau pegang ini harusnya kau pegang itu walaupun bukan keahliannya disitu, bukan basic-nya disitu harus dikerjakan…apalagi kalau kita SKM toh tidak ada alasan, pokoknya pengertiannya itu SKM semua dipelajari.. Walaupun basic-mu apa kalau kau dikasih ini ya harusnya tidak ada alasan tidak tahu,tidak bisa, harus dikerja karena basic-nya FKM”.

Proses implementasi untuk memenuhi kebutuhan tenaga tersebut hanya dapat dilakukan oleh Dinas Kesehatan. Puskesmas hanya bisa menunggu untuk mendapatkan tenaga yang dibutuhkan. Selama Dinas Kesehatan belum mampu memenuhi kebutuhan tersebut Puskesmas terpaksa mengoptimalkan sumber daya manusia yang tersedia meskipun hal ini dapat mengakibatkan beban kerja yang berlebihan atau kerja ganda. Hal ini diperkuat berdasarkan hasil wawancara bersama Ibu Fatmawati, SKM. yang mengatakan :

“…diajukan tapi memang, seperti kemarin penerimaan P3K kami ajukan, seperti tenaga promkes dua orang kami butuhkan tapi tidak ada yang mendaftar…jadi kadang kami buka, kan ada yang namanya kebutuhan pegawai Puskesmas kami sudah jelaskan kami butuh tenaga ini…kadang Puskesmas ada yang kelebihan tenaganya ada yang kekurangan tenaganya”.

Beban kerja yang berlebihan saat bekerja juga tidak sebanding dengan gaji yang diterima oleh tenaga kesehatan. Beberapa pegawai bahkan melakukan lebih banyak tugas daripada rekan kerja lain, namun gaji yang mereka terima tetap sama sesuai dengan golongan sebagai pegawai negeri di Puskesmas. Kepuasan kerja para pekerja sangat terkait dengan sistem kompensasi yang diterapkan oleh lembaga atau organisasi tempat mereka bekerja. Pemberian kompensasi yang tidak tepat dapat berdampak negatif terhadap peningkatan kinerja individu. Ketidakcocokan dalam jenis kompensasi yang ditawarkan atau penghargaan yang tidak sesuai tidak mendorong para pekerja untuk berusaha mendapatkannya. Akibatnya, mereka mungkin kehilangan motivasi untuk meningkatkan kinerja demi mendapatkan kompensasi yang semestinya. Dari hasil wawancana pada tugas belajar di FKM atas nama Emy Dorlianti yang sudah 23 tahun bekerja di Puskesmas mengatakan :

“Mengenai gaji juga sangat kecil dan ini juga salah satu faktor yg membuat tenaga kesehatan ini malas untuk bekerja”.

Bentuk-Bentuk Neoliberalisme di Puskesmas

Dengan berbagai masalah yang ada di puskesmas, neoliberalisme masuk secara perlahan tanpa disadari oleh petugas puskesmas. Bentuk-bentuk neoliberalisme yang terjadi diantaranya :

  1. Peningkatan Tarif Layanan Kesehatan

Kenaikan ini mencerminkan penurunan peran pemerintah dalam memberikan subsidi untuk tarif layanan kesehatan di Puskesmas. Kenaikan tarif layanan tersebut terjadi meskipun dalam era Jaminan Kesehatan Nasional, di mana pemerintah mewajibkan masyarakat untuk bergabung dalam skema asuransi yang diatur negara. Di era JKN ini, pemerintah sebenarnya menunjukkan bahwa perannya semakin berkurang, terlihat dari adanya kewajiban iuran yang harus dibayar oleh peserta BPJS Kesehatan kepada BPJS Kesehatan. Ini adalah paradoks yang sangat   bertentangan, mengingat kesehatan seharusnya menjadi hak dasar yang diperoleh oleh setiap warga negara tanpa harus membayar kepada negara.

Puskesmas sebagai lembaga yang menjual layanan jasa sehingga pelayanan yang bermutu merupakan suatu kebutuhan yang harus dipenuhi. Jika pasien tidak merasa puas dengan kualitas layanan yang diberikan, mereka cenderung memilih untuk tidak datang kembali ke Puskesmas tersebut. Berdasarkan sumber yang di peroleh dari CNBC Indonesia, Ketua Perhimpunan Klinik & Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Indonesia Liliek Gondomono mengatakan bahwa pemahaman yang kurang tepat tentang program JKN sering terjadi di klinik kesehatan. Sebagai contoh, pemilik atau pengelola klinik sering mengalami kesulitan karena biaya operasional klinik tidak mencukupi hanya dengan mengandalkan kepesertaan BPJS Kesehatan dengan mengatakan :

“Karena FKTP itu berbasis kapitasi, artinya kalau peserta yang terdaftar banyak, ya klinik dapat banyak. Tapi kalau satu orang sering berobat misalnya seminggu sampai 3 kali sakit maka FKTP ya rugi karena harus mengeluarkan obat-obatan sementara yang didapat klinik tetap, karena berdasar kapitasi” .

Menurut Liliek Gondomono jika semua peserta BPJS Kesehatan dalam kondisi sehat atau hanya sedikit yang berkunjung ke klinik itu akan menguntungkan FKTP karena mereka tidak perlu mengeluarkan biaya untuk obat-obatan dan banyak klinik yang dapat bertahan berkat sistem ini seperti pernyataannya sebagai berikut :

“Jadi ya kalau FKTP ingin untung, harus menyesuaikan biaya operasional dengan jumlah kepesertaan BPJS-nya. Selain juga harus memberikan pelayanan yang terbaik, sehingga itu akan membuat informasi bahwa FKTP ini baik, maka akan banyak juga peserta yang memilih FKTP tersebut sebagai faskes tingkat pertamanya. Nah, kalau jumlah pesertanya naik ya kliniknya akan untung”.

  1. Hegemoni Obat dari Perusahaan Farmasi Multinasional

Masuknya neoliberalisme di Puskesmas juga terlihat dari pilihan perusahaan farmasi yang digunakan. Neoliberalisme memiliki jaringan perusahaan multinasional yang berfokus pada sektor kesehatan. Industri farmasi di negara ini sangat beragam melibatkan berbagai perusahaan dalam produksi, pemasaran, dan distribusi berbagai jenis produk farmasi termasuk obat generik, obat generik bermerek, dan obat bebas.

PT Kimia Farma, PT. Tempo Scan Pacific, dan PT Phapros merupakan beberapa perusahaan Farmasi terbesar di Indonesia. Ketiga perusahaan tersebut memiliki keterkaitan yang erat dengan perusahaan-perusahaan farmasi global. PT Kimia Farma memiliki perjanjian penting dengan PT Johnson & Johnson Indonesia untuk penjualan dan distribusi produk mereka selama sepuluh tahun sejak Mei 2007. PT Tempo Scan Pacific bekerja sama dengan PT Roche Indonesia dan PT Boehringer Ingelheim yang terlibat dalam memenuhi pasokan bahan baku dan produk jadi. Sementara itu, PT Phapros memiliki kesepakatan dengan PT Pfizer untuk memproduksi obat, baik dengan memproduksi obat untuk PT Pfizer maupun sebaliknya.

Kerjasama antara perusahaan-perusahaan farmasi ini menghasilkan aliran dana yang keluar dari pemerintah dan memberikan keuntungan bagi perusahaan multinasional. Hal ini menunjukkan bagaimana neoliberalisme dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat jika pemerintah tidak cermat dalam peranannya. Perusahaan farmasi multinasional ini juga memiliki kekuatan untuk mengatur harga obat yang mereka produksi, serta menentukan negara mana yang dapat berkolaborasi dengan mereka sesuai dengan kepentingan bisnis mereka. Dampaknya adalah negara mungkin terjebak dalam lingkaran neoliberalisme yang membuat sulit untuk melindungi kesehatan masyarakat secara adil.

  1. Penerapan Reinventing Governmant (Mewirausahakan Birokrasi) Pada Puskesmas Berstatus BLUD

Pola yang mencolok adalah meningkatnya kecenderungan untuk melakukan privatisasi, deregulasi, dan agensifikasi birokrasi. Di bidang kesehatan, trend ini terlihat jelas dengan usaha untuk mengubah status Puskesmas menjadi Puskesmas BLUD (Badan Layanan Umum Daerah). Dari hasil wawancara dengan beberapa tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas Kota Makassar, mereka mengatakan bahwa tahun 2025 seluruh Puskesmas yang ada di Makassar direncanakan akan menjadi BLUD.

Berdasarkan Permendagri No. 79 tahun 2018 tentang Badan Layanan Umum Daerah bahwa tujuan dari BLUD untuk memberikan layanan umum secara lebih efektif, efisien, ekonomis, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan dan manfaat sejalan dengan Praktek Bisnis Yang Sehat, untuk membantu pencapaian tujuan pemerintah daerah yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh kepala daerah.

BLUD dilahirkan sebagai entitas semiotonom yang diberikan keleluasaan dan kemandirian dalam pengelolaannya, mirip dengan korporasi. Menjadi BLUD akan membawa implikasi sebagai organisasi publik campuran. Dengan model pengelolaan ini, akan terjadi pergeseran dalam paradigma dan praktik kerja dari puskesmas, di mana puskesmas diharapkan untuk menghasilkan pendapatan yang dapat dikembalikan, bukan semata-mata untuk memprioritaskan pelayanan kepada masyarakat.

Paradigma Puskesmas yang sebelumnya hanya bertujuan memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, ketika berubah menjadi BLUD juga harus mempertimbangkan cara untuk memastikan kepuasan pelanggan, meningkatkan profit untuk pengembangan bisnis Puskesmas, dan bahkan secara ekstrem harus menjadi kreatif dan inovatif dalam operasional sehari-hari. Hal ini bertujuan untuk mengembangkan semangat kewirausahaan sehingga Puskesmas dapat menghasilkan pendapatan sendiri selain dari dana pemerintah.

Dominasi neoliberalisme mengubah pelayanan kesehatan menjadi barang dagang dan layanan komersial. Sektor kesehatan menjadi krusial dalam perdagangan bebas karena sangat vital bagi kehidupan banyak orang. Intervensi ekonomi dalam sistem pelayanan kesehatan mengakibatkan kesulitan masyarakat untuk mendapatkan akses yang merata dan memadai terhadap layanan kesehatan. Puskesmas BLUD dipandang sebagai solusi untuk mengatasi kendala birokrasi dalam pengelolaan dana di Puskesmas.

Dari semua permasalahan yang dihadapi oleh Puskesmas diperlukan peningkatan kapasitas Puskesmas dalam hal manajemen sistem dan kompetensi sumber daya manusia untuk mendukung peningkatan layanan kesehatan. Puskesmas yang memiliki sumber daya keuangan yang cukup namun tidak didukung oleh kemampuan pengelolaan yang baik dari sumber daya manusianya mengalami dominasi neoliberalisme yang meresap secara luas ke dalam pola manajemen organisasinya. Regulasi yang mendukung integrasi sistem pasar ke dalam Puskesmas membuatnya sulit untuk melakukan resistensi terhadap pengaruh tersebut. Puskesmas yang berubah status menjadi BLUD merupakan contoh konkret dari bagaimana Puskesmas kesulitan untuk menentang dominasi neoliberalisme dalam ranah kesehatan.

 

Maka BEM FKM Unhas memandang perlu untuk:

  1. Mendorong peningkatan kapasitas Puskesmas dengan memperbaiki sistem pengelolaan dan meningkatkan kompetensi SDM Puskesmas untuk mendukung peningkatan pelayanan kesehatan.
  2. Mendorong puskesmas melakukan pelayanan secara holistic dan komprehensif dengan tetap berorientasi pada upaya promotive preventif tanpa mengabaikan pelayanan kuratif dan rehabilitative.
  3. Mengecam dan menolak terjadinya komerisalisasi pada pelayanan Kesehatan
  4. Mengecam usaha pelepasan tanggung jawab pemerintah terhadap pelayanan kesehatan.

5.Menangani ketidakmerataan dalam distribusi sumber daya kesehatan dan meningkatkan kondisi kesejahteraan tenaga kesehatan untuk mengurangi risiko eksploitasi terhadap mereka.

 

Sumber

Ain, N. Kualitas Pelayanan Unit Pelaksana Teknis Daerah Pusat Kesehatan Masyarakat Di Kecamatan Sentajo Raya Kabupaten Kuantan Singingi.

Direktorat Kesehatan Dan Gizi Masyarakat (2018) Penguatan Pelayanan Kesehatan Dasar Di Indonesia. Available At: Https://Www.Researchgate.Net/Publication/331345598_Penguatan_Pelayanan_Kesehatan_Dasar_Di_Puskesmas.

Idam, I. (2021) ‘Pengaruh Gaji, Hubungan Rekan Kerja Dan Karakteristik Pekerjaan Terhadap Kepuasan Kerja (Studi Pada Pegawai Di Puskesmas) Available At: Http://Eprints.Uniska-Bjm.Ac.Id/5735/.

Inilah Daftar 10 Perusahaan Farmasi Terbesar Di Indonesia Versi Terbaru. (2024). Retrieved From Diklatkerja: Https://Www.Diklatkerja.Com/Blog/Inilah-Daftar-10-Perusahaan-Farmasi-Terbesar-Di-Indonesia-Versi-Terbaru

UNAIR News. (2019). Perubahan Gaya Hidup dan Pola Penyakit, Paradigma Masyarakat Harus Diubah. From Beranda UNAIR : https://news.unair.ac.id/2019/04/07/perubahan-gaya-hidup-dan-pola-penyakit-paradigma-masyarakat-harus-segera-berubah/?lang=id

Lestari, I. P. (2019). Praktik Neoliberalisme Kesehatan: Studi Kasus Pada Puskesmas Dinoyo Kota Malang (Doctoral dissertation, Universitas Brawijaya).Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2019 Tentang Pusat Kesehatan Masyarakat

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2019 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 Tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 Tentang Puskesmas

Permendagri No. 79 Tahun 2018 Tentang Badan Layanan Umum Daerah

Rokom. (2018). Indonesia Laksanakan Deklarasi Alma Ata. Retrieved From Sehat Negriku: Https://Sehatnegeriku.Kemkes.Go.Id/Baca/Rilis-Media/20181025/3828393/Indonesia-Laksanakan-Deklarasi-Alma-Ata/

Rokom. (2022). Anggaran Kesehatan 2023 Fokus Tingkatkan Kualitas Layanan Kesehatan. Retrieved From Sehat Negeriku: Https://Sehatnegeriku.Kemkes.Go.Id/Baca/Rilis-Media/20221201/2041903/Anggaran-Kesehatan-2023-Fokus-Tingkatkan-Kualitas-Layanan-Kesehatan/

UNAIR News. (2019). Perubahan Gaya Hidup dan Pola Penyakit, Paradigma Masyarakat Harus Diubah. From Beranda UNAIR : https://news.unair.ac.id/2019/04/07/perubahan-gaya-hidup-dan-pola-penyakit-paradigma-masyarakat-harus-segera-berubah/?lang=id

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top