Merebut Kembali Tujuan Pendidikan: Bukan untuk Komersialisasi, tetapi untuk Kesejahteraan Rakyat

Share it

Universitas sebagai suatu lembaga Pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat dalam berbagai rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi. Otonomi pengelolaan membagi kalsifikasi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sesuai dengan manajemen pegelolaannya. Posisi perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH) merupakan tingkat tertinggi dalam hal otonomi. PTN-BH memiliki otonomi penuh dalam pengelolaan keuangan dan sumber daya, termasuk dosen dan tenaga pendidik. PTN-BH beroperasi dengan cara yang mirip dengan perusahaan BUMN. Mereka memiliki hak kendali penuh atas aset dan keuangan mereka sendiri.

            Salah satu masalah mendasar yang muncul dari status PTN-BH adalah tendensi untuk memprioritaskan aspek komersial dalam operasionalnya. Perguruan tinggi harus mencari sumber pendapatan tambahan, yang sering kali berdampak pada peningkatan biaya kuliah dan pengurangan akses bagi masyarakat kurang mampu.

            PTN-BH adalah model kelembagaan yang secara langsung dihasilkan oleh kebijakan pemerintah melalui kementerian sektoralnya, nomenklatur Kemenrstekdikti 2012-2018 lalu Kemendikbud 2019-2024. Kemunculan PTN-BH (corporate university) merupakan hasil dari injeksi nilai-nilai sistem administrasi publik yang berorientasi pasar (neoliberal) yang memainstreamingkan modelling reinventing government, new public management dan good govermance. Secara de jure entitas PTN-BH secara administrasi bagian dari birokrasi pemerintah pusat. Peran lembaga negara atau lebih tepatnya peran pasar yang difasilitasi negara lewat kebijakannya, semakin dominan dalam kemunculan corporate university di era kapitalisme kontemporer dan pasca-industrial saat ini. Status quo kebijakan Pendidikan sangat dipengaruhi oleh kekuasaan posisi pemerintah dan political wil-nya. Menurut Foucault, Pendidikan tinggi sebagai bagian dari ruang pengembangan pengetahuan yang lebih umum tidak sepenuhnya netral, antara kekuasaan dan pengetahuan selalu memiliki hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi.  

            Perdebatan utama soal pendidikan tinggi adalah mengenai sumber pendanaan, tanpa harus melakukan privatitsasi dan komersialisasi. Gramsci mengemukakan bahwa kelas penguasa tidak hanya menguasai alat produksi ekonomi, tetapi juga alat produksi budaya, termasuk sistem pendidikan. Kapitalis memandang pendidikan sebagai ruang untuk mencetak individu yang sesuai dengan kebutuhan pasar dan struktur sosial yang ada. Pendidikan seharusnya tidak hanya mencetak individu yang berkompetisi di pasar tenaga kerja, tetapi juga individu yang sadar akan posisi sosialnya dan mampu berkontribusi dalam perubahan sosial yang progresif. Dalam konteks perguruan tinggi di Indonesia, dimana banyak perguruan tinggi yang terjebak dalam logika komersial, tujuan pendidikan yang sebenarnya sering terabaikan. Pendidikan seharusnya menjadi sarana untuk mencapai kesetaraan sosial dan keadilan, bukan untuk memperdalam ketimpangan sosial melalui biaya pendidikan yang tinggi dan akses yang terbatas bagi masyarakat kelas bawah.

            Perubahan sosial tidak hanya bisa dicapai melalui perubahan ekonomi atau politik, tetapi juga melalui perubahan dalam hegemoni budaya yang tertanam dalam institusi sosial, termasuk pendidikan. Komersialisasi pendidikan yang semakin mendalam menjadikan perguruan tinggi menjadi entitas yang lebih mengutamakan pendapatan dan laba dibandingkan dengan kesejahteraan sosial. PTN-BH dengan otonomi finansialnya cenderung mengutamakan sumber daya eksternal, seperti biaya kuliah yang semakin tinggi atau dana dari sponsor, yang akhirnya hanya menguntungkan kalangan tertentu dan membatasi akses bagi masyarakat kelas bawah.

            Untuk merebut kembali tujuan pendidikan yang sejati, pendidikan harus kembali ke rakyat. Pendidikan tidak boleh dijadikan komoditas yang hanya melayani pasar atau kebutuhan industri, melainkan harus diarahkan untuk membangun kesadaran kritis di kalangan masyarakat. Pendidikan harus menjadi alat pembebasan yang membangkitkan kesadaran kelas, sehingga rakyat dapat menyadari posisi mereka dalam struktur sosial dan ekonomi, serta memahami tujuan pendidikan harus diarahkan untuk menciptakan masyarakat yang egaliter, dimana kesetaraan sosial dan kesejahteraan rakyat menjadi prioritas. Dalam hal ini, perguruan tinggi harus lebih berorientasi pada kesejahteraan rakyat, pendidikan harus dibebaskan dari tekanan komersialisasi. Pemerintah harus menjadi penjaga utama akses terhadap pendidikan, dengan memastikan bahwa pendanaan pendidikan tinggi tidak bergantung pada biaya kuliah yang tinggi dan sumber pendapatan eksternal. Sebaliknya, pemerintah harus berperan aktif dalam menyediakan pendidikan yang berkualitas untuk semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali, dan menjadikan pendidikan sebagai alat untuk meningkatkan kesadaran sosial dan keterlibatan politik rakyat.

            Menurut Gramsci, pendidikan perlu dilakukan dengan cara mengembalikan pendidikan sebagai ruang publik yang lebuh inklusif dan egaliter. Pendidikan harus memperkuat solidaritas sosial dan mengedepankan nilai-nilai keadilan sosial, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar. Hal ini juga berarti bahwa kurikulum pendidikan harus mencerminkan keberagaman sosial dan budaya masyarakat, dan tidak hanya mengakomodasi kebutuhan industri. Untuk mencapai hal ini, rakyat harus diberdayakan untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan, dan kurikulum yang diajarkan harus mendorong pemikiran kritis, kesadaran kelas, dan keberagaman sosial, agar pendidikan tidak hanya berfungsi untuk mengkonsolidasikan status quo, tetapi juga sebagai sarana perubahan sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Gramsci, Antonio, 2000. Sejarah dan Budaya, Surabaya, Pustaka Promethea.

https://itjen.kemdikbud.go.id/web/mengenal-lebih-lanjut-status-perguruan-tinggi-negeri-ptn-bh-ptn-blu-dan-ptn-satker/

Patria, Nezar & Arief, Andi. 2015. Antonio Gramsci. Negara dan Hegemoni. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Simon, Roger. 2004. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta. Pustaka Pelajar

Syafiuddin, A. 2018. Pengaruh Kekuasaan Atas Pengetahuan (Memahami Teori Relasi Kuasa Michel Foucault). Refleksi Jurnal Filsafat Dan Pemikiran Islam, 18(2), 141–155. https://doi.org/10.14421/ref.v18i2.1863            

            .

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top