Optimalisasi Partisipasi Mahasiswa dalam Struktur MWA : Dialektika Representasi dan Dinamika Pengawasan Demokratis

Share it

Kononnya begini!!! Pendidikan menjadi cerminan kewibawaan sebuah negara. Pendidikan yang berkualitas dalam sebuah negara, akan diikuti dengan lahirnya generasi-generasi yang cerdas serta ahli dibidang kompetennya masing-masing. Pendidikan menjadi sektor pondasi pembangunan bangsa dan negara, sebab pendidikan akan berupaya semaksimal mungkin dalam menciptakan sumber daya manusia yang cerdas dan berkualitas. Pendidikan menjadi tolak ukur keberhasilan suatu negara dalam mendidik dan mencerdaskan generasinya. Melalui generasi-generasi ini, kondisi bangsa akan mengalami perubahan tiap harinya sebagai bentuk perbaikan/koreksi dari masa-masa sebelumnya.

Namun, mirisnya semua capaian diatas ternyata hanya menjadi harapan orang-orang yang memiliki kekuasaan lebih, orang-orang yang mengatur kebijakan, orang-orang yang memiliki kemampuan untuk menjalankan sistem dengan kemasan menarik yang ia suguhkan. Sangat menarik, tapi sungguh mengenaskan. Sistem pendidikan kita hari ini tampaknya jauh dari semangat yang diamanatkan dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945, yang seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, justru menjadi wadah pengumpulan biaya hidup sebanyak-banyaknya. Alhasil kampus menjadi lahan bisnis yang sangat subur untuk mengeruk kekayaan bagi para kapitalis. Terlebih saat kampus diberikan kewenangannya untuk mengatur dan mengelola kampusnya melalui hak otonom yang ia miliki sebagai Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum. Segala bentuk kebijakan yang hadir hanya terlihat seperti upaya pemerintah untuk mengklaim keberhasilan pendidikan, sementara masalah mendasar dalam sistem pendidikan masih terabaikan, bahkan timbulnya masalah-masalah baru di lingkup kampus.

PP UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi: Kehadiran PTN-BH di Indonesia

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menjadi landasan hukum utama dalam reformasi pendidikan tinggi di Indonesia. Salah satu fitur penting dari undang-undang ini adalah pengenalan status PTN-BH. Status ini memberikan otonomi yang lebih luas kepada perguruan tinggi dalam aspek akademik dan non-akademik, termasuk pengelolaan keuangan, pengangkatan dosen, dan penentuan kurikulum. Dengan adanya PTN-BH, diharapkan perguruan tinggi mampu bersaing secara global, meningkatkan kualitas pendidikan, dan berkontribusi lebih signifikan terhadap pembangunan nasional. Kontribusi ini diharapkan terwujud melalui ruang-ruang diskursif yang hadir dilingkup kampus untuk menjadi tempat berjalannya dialektika dan adu gagasan yang terus dikembangkan.

PERMEN No. 8 Tahun 2014: Peralihan Status PTN menjadi PTN-BH

Untuk mengatur peralihan status PTN menjadi PTN-BH, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri (PERMEN) Nomor 8 Tahun 2014. PERMEN ini mengatur syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh perguruan tinggi yang ingin beralih status menjadi PTN-BH. Salah satu syarat utama adalah adanya statuta yang harus disusun dan disahkan oleh pemerintah. Statuta ini akan menjadi dasar hukum bagi perguruan tinggi dalam menjalankan fungsinya sebagai PTN-BH. Statuta harus mencakup berbagai aspek penting, termasuk struktur organisasi, tata kelola, pengelolaan keuangan, dan akuntabilitas.

PP RI No. 53 Tahun 2015: Statuta Universitas Hasanuddin

Sebagai langkah awal dalam peralihan status menjadi PTN-BH, Universitas Hasanuddin (Unhas) menyusun statuta yang sesuai dengan ketentuan PERMEN No. 8 Tahun 2014. Pada tahun 2015, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 yang mengesahkan statuta Universitas Hasanuddin. Statuta ini menjadi landasan hukum bagi Unhas dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai PTN-BH. Statuta tersebut mencakup berbagai ketentuan mengenai tata kelola, pengelolaan sumber daya, serta hak dan kewajiban civitas akademika yakni rektor, dekan, staff akademik, mahasiswa dan seluruh birokrasi kampus yang termasuk didalamnya.

Peralihan Resmi Unhas Menjadi PTN-BH

Pada tanggal 1 Januari 2017, Universitas Hasanuddin resmi beralih status menjadi PTN-BH. Pengumuman ini disampaikan oleh Rektor Unhas pada masa itu, Prof. Dr. Dwia Aries Tina Palubuhu, M.A. Peralihan ini menandai babak baru dalam sejarah Unhas, di mana universitas ini memperoleh otonomi yang lebih besar dalam mengelola segala aspek operasionalnya. Dengan status PTN-BH, Unhas diharapkan mampu meningkatkan kualitas akademik dan penelitian, serta menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan dan tantangan global.

Salah satu komponen penting dalam statuta Unhas adalah Pasal 18 yang mengatur tentang Majelis Wali Amanat (MWA). MWA memiliki peran strategis dalam penentuan kebijakan umum di Unhas, pengesahan rancangan yang disusun oleh rektor dan senat akademik, serta evaluasi kinerja rektor dan senat akademik. MWA juga terlibat dalam pengambilan keputusan strategis lainnya yang berdampak pada keberlanjutan dan pengembangan universitas. Keanggotaan MWA terdiri dari perwakilan seluruh stakeholder di lingkungan kampus, termasuk dosen, mahasiswa, tenaga kependidikan, alumni, dan masyarakat. Keberadaan MWA diharapkan dapat menjamin transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi dalam pengelolaan universitas.

Pentingnya Mahasiswa di MWA

Mahasiswa merupakan elemen kunci dalam kehidupan kampus yang memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan di universitas. Hak ini tidak hanya terbatas pada menerima pendidikan yang memadai dengan fasilitas yang nyaman, seperti ruang kelas yang layak, toilet yang berfungsi baik, dan perpustakaan yang kaya akan referensi. Mahasiswa juga memiliki hak untuk ikut serta dalam merumuskan kebijakan yang mendukung peningkatan kualitas intelektual, serta terlibat dalam transformasi dan pembaruan sistem pendidikan agar selaras dengan perkembangan zaman. Secara singkat, mahasiswa di kampus harus menjadi aktor aktif dalam mencapai tujuan pendidikan yang mencerdaskan dan memberdayakan, bukan diberdayakan.

Disadari atau tidak, PTN-BH secara tidak langsung merebut hak mahasiswa untuk terlibat secara utuh dalam segala aktivitas kehidupan di kampus, terkhusus pada perumusan kebijakan strategis yang akan diterapkan di lingkup kampus. Keterlibatan seluruh stakeholder di dalam penyusunan kebijakan kampus akan menghasilkan suatu kebijakan startegis yang menyasar dan berdampak pada semua elemen dalam kampus itu sendiri. Mahasiswa harus sadar bahwa perampasan hak yang tidak etis dilakukan oleh pihak birokrasi menjadi suatu bentuk ketidakadilan bagi mereka, sehingga pada akhirnya mahasiwa akan menjadi obyek berjalan yang diperlakukan seenaknya saja. Dalam perspektif konstruktivisme, proses pertukaran ide dan gagasan harus dilakukan dari mahasiswa ke pihak birokrasi dan sebaliknya agar menjadi suatu proses yang ideal dalam berdinamika dan merespon seluruh keresahan yang terjadi hingga ke akar-akarnya.

MWA-UH VS MWA-WM

            Lagi dan lagi, keresahan itu semua tidak akan tertampung secara merata jika kita melihat sistem yang berjalan di MWA Unhas saat ini. Mahasiswa yang harusnya menjadi sumber informasi akan keresahan yang terjadi di lingkup universitas, misal jam malam, ukt mahal, represi birokrasi, intervensi lembaga, kriminalisasi mahasiswa, kekerasan seksual, pungli, dan lain-lain, justru dibatasi dan diberi kualifikasi untuk hadir menjadi perwakilan mahasiswa di MWA itu sendiri. Berdasarkan PP RI No. 53 tahun 2015 yang mengatur terkait STATUTA Unhas terkhusus pada pembahasan MWA di pasal 20 menyebutkan bahwa anggota MWA berjumlah 19 orang yang terdiri salah satunya yakni ketua Senat Mahasiswa Unhas atau sebutan lain sebagai wakil Mahasiswa dalam hal ini disebut Presiden BEM-U di lembaga kemahasiswan Unhas, sesuai yang tertera pada PR ORMAWA yang mengatur bahwa lembaga kemahasiswaan tingkat universitas adalah Badan Eksekutif Mahasiswa.

            Jika melihat kondisi lembaga kemahasiswaan tingkat universitas saat ini, tidak afdhal rasanya jika hanya Presiden BEM-U lah yang bisa menjadi perwakilan mahasiswa di MWA. Mengingat BEM-U yang berjalan saat ini tidak lagi menghimpun keseluruhan fakultas yang ada di Unhas itu sendiri, sehingga segala bentuk keresahan, permasalahan, dan ide yang hadir tidak akan terwakilkan secara langsung ke wadah pembuat kebijakan strategis. Pun mengingat terjadi kekosongan akan kursi Presiden BEM-U di Lembaga kemahasiswaan unhas sebagai akibat dari permasalahan internal pada masanya, sehingga berdampak pula pada kosongnya kursi mahasiswa di MWA. Sehingga hal yang ditakutkan akan muncul ketika para birokrat mengeluarkan banyak aturan tanpa melibatkan mahasiswa, yang merupakan elemen vital dalam kehidupan kampus. Nantinya mahasiswa tidak turut dalam berdiskusi atau menyuarakan pendapat mereka mengenai kebijakan-kebijakan yang akan diterapkan. Hal yang diperparah dan ditakutkan lagi ialah akan muncul kebijakan-kebijakan yang hadir atas kepentingan golongan tertentu.

            Sistem yang berjalan di Unhas saat ini sangat jauh berbeda dengan sistem yang diterapkan di beberapa universitas yang menggunakan wadah wakil mahasiswa dalam penerimaan aspirasi kritis, yakni ITB, Unpad, dan UPI dalam pendelegasian mahasiswa ke MWA pusat. Banyak dari mereka yang menghadirkan lembaga Majelis Wali Amanat Wakil Mahasiswa (MWA-WM) sebagai bentuk diferensiasi dari delegasi mahasiswa menuju MWA pusat. Keanggotaan MWA-WM pun merupakan kumpulan dari berbagai mahasiswa yang berada di tiap-tiap fakultas. MWA-WM mempunyai jobdesk khusus yang berbeda dari lembaga trias politica lainnya, yakni menetapkan dan memberikan masukan mengenai kebijakan umum, serta melaksanakan pengawasan di bidang non-akademik yang menjadi tanggung jawab MWA pusat. Peran MWA-WM tidak terbatas pada aspek administratif semata, mereka juga bertindak sebagai jembatan yang menghubungkan suara dan aspirasi mahasiswa dengan pihak-pihak pengambil keputusan lainnya di kampus. Secara khusus, MWA-WM bertugas menyampaikan berbagai aspirasi dan kebutuhan mahasiswa kepada Majelis Wali Amanat (MWA), Rektor, dan Senat Akademik (SA). Dengan demikian, MWA-WM memainkan peran strategis dalam memastikan bahwa kebijakan yang diambil oleh institusi pendidikan tinggi mencerminkan kepentingan dan kebutuhan nyata mahasiswa, serta dalam mendukung terciptanya lingkungan akademik yang kondusif dan progresif. MWA-WM memiliki hak atas pengadvokasian kepada pihak birokrasi secara langsung melalui satu orang perwakilannya yang diutus ke MWA pusat. Lembaga ini dibuat agar tidak terjadi tumpang tindih diantara tugas-tugas yang hadir diantara trias politica itu sendiri seperti halnya Badan Eksekutif, Badan Legislatif, dan Badan Yudikatif atau yang sejenisnya.

Pandangan Lembaga-lembaga di Unhas

            Kondisi yang terjadi di Unhas saat ini tidak sejalan dengan pandangan organ-organ di Unhas dalam melihat realitas pendelegasian mahasiwa di MWA saat ini, karena tidak adanya representatif mahasiswa di dalam wadah strategis tersebut. Organ memandang bahwa kualifikasi pendelegasian mahasiswa ke MWA seyogyanya tidak dispesifikkan pada Ketua Senat atau sederajatnya saja, melainkan siapapun wakil mahasiswa bisa untuk menjadi mandat ataupun perwakilan ke MWA. Mengingat bahwa akan ada kondisi-kondisi luar biasa yang terjadi layaknya di kondisi kelembagaan eksekutif Unhas saat ini. Banyak organ yang memandang bahwa salah satu mekanisme penting dalam menjaga keseimbangan dan representasi berbagai kepentingan akademik di tingkat institusi adalah setiap fakultas mengirimkan perwakilannya ke MWA untuk memastikan bahwa suara dan aspirasi mereka didengar dan diperhatikan dalam pengambilan keputusan strategis yang akan mempengaruhi seluruh universitas. Perwakilan ini memainkan peran krusial dalam menghubungkan fakultas dengan MWA, memastikan bahwa keputusan yang diambil tidak hanya sesuai dengan visi dan misi universitas, tetapi juga mempertimbangkan kebutuhan spesifik dan tantangan yang dihadapi oleh masing-masing fakultas. Dengan demikian, kebijakan yang dihasilkan dapat lebih komprehensif dan inklusif, mencerminkan keragaman disiplin ilmu dan kepentingan akademik yang ada di universitas. Keberadaan perwakilan tiap fakultas di MWA juga berfungsi sebagai wadah komunikasi dua arah.

Di satu sisi, fakultas dapat menyampaikan masukan, saran, dan kritik kepada MWA. Di sisi lain, MWA dapat menyampaikan informasi dan keputusan strategis kembali ke fakultas. Proses ini tidak hanya meningkatkan transparansi, tetapi juga memperkuat akuntabilitas di antara berbagai elemen universitas. Namun, untuk memastikan efektivitas perwakilan fakultas di MWA, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, pemilihan perwakilan harus dilakukan secara demokratis dan transparan, melibatkan seluruh anggota fakultas agar perwakilan yang terpilih benar-benar mencerminkan aspirasi kolektif. Kedua, perwakilan harus dibekali dengan pemahaman yang mendalam tentang isu-isu strategis universitas serta kemampuan negosiasi dan komunikasi yang baik. Hal ini penting agar mereka dapat memperjuangkan kepentingan seluruh stakeholder di universitas dengan efektif dalam forum MWA. Selain itu, sistem perwakilan ini perlu diatur dalam sebuah kerangka kerja yang jelas dan terstruktur. Aturan main mengenai tugas dan tanggung jawab perwakilan, mekanisme pelaporan, serta cara menyampaikan aspirasi harus dituangkan secara rinci dalam statuta universitas. Dengan demikian, peran perwakilan fakultas di MWA tidak hanya bersifat simbolis, tetapi juga operasional dan efektif dalam mempengaruhi kebijakan universitas. Secara keseluruhan, adanya perwakilan tiap fakultas ke MWA adalah langkah positif dalam memperkuat tata kelola universitas yang inklusif dan partisipatif. Ini mencerminkan komitmen universitas untuk melibatkan seluruh elemen akademik dalam proses pengambilan keputusan, serta memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan benar-benar berakar dari kebutuhan dan aspirasi seluruh komunitas akademik.

Di sisi lain, jika kita memandang secara realistis yakni hal-hal yang mungkin saja akan terjadi ketika perwakilan mahasiswa hanya satu orang cenderung menghadapi tekanan yang lebih besar dan rentan terhadap intervensi. Dalam situasi seperti ini, keputusan dan pendapat perwakilan mahasiswa tersebut bisa dengan mudah dipengaruhi oleh pihak birokrasi atau pihak lain yang memiliki kepentingan tertentu. Intervensi semacam ini dapat mengurangi independensi dan objektivitas perwakilan mahasiswa dalam menyampaikan aspirasi kolektif mahasiswa. Untuk mengatasi kerentanan ini, penting bagi universitas untuk mempertimbangkan penambahan jumlah perwakilan mahasiswa di MWA. Dengan lebih dari satu perwakilan, mahasiswa akan memiliki kekuatan kolektif yang lebih besar dan lebih sulit untuk diintervensi oleh pihak birokrasi. Selain itu, adanya beberapa perwakilan memungkinkan terjadinya diskusi internal di antara mereka, yang dapat menghasilkan keputusan yang lebih matang dan representatif terhadap kebutuhan mahasiswa. Jumlah perwakilan mahasiswa yang ganjil dan lebih dari satu juga dapat mengurangi risiko terjadinya kebuntuan dalam pengambilan keputusan. Dalam situasi di mana ada perbedaan pendapat di antara perwakilan mahasiswa, keputusan yang diambil dapat lebih mencerminkan kehendak mayoritas mahasiswa. Selain itu, struktur ini dapat meningkatkan akuntabilitas perwakilan mahasiswa, karena mereka harus bertanggung jawab tidak hanya kepada mahasiswa yang mereka wakili tetapi juga kepada rekan perwakilan mereka. Penting untuk dicatat bahwa perubahan struktur perwakilan ini harus diatur dengan jelas dalam statuta universitas. Sayangnya, jika kita menarik jauh proses pembuatan konstitusi yang tertera di Statuta Unhas, ternyata membutuhkan proses yang terbilang cukup panjang, sehingga dalam proses modifikasi ataupun perubahan yang diharapkan terjadi didalamnya tidak semudah membalikkan telapak tangan karena memakan waktu dan SDM yang tidak sedikit.

MWA Butuh Mahasiswa ataukah Mahasiswa Butuh MWA

Mahasiswa di Majelis Wali Amanat (MWA) memiliki peran krusial dalam mengontrol kebijakan birokrasi kampus untuk mencegah kerugian bagi mahasiswa, tenaga pendidik (tendik), serta seluruh komunitas kampus seperti pace mace dan lainnya. Idealnya, mahasiswa harus dihadirkan dalam setiap diskusi yang membahas problematika mereka. Situasi ini dapat diibaratkan dengan upaya menyelesaikan masalah suatu komunitas tanpa melibatkan anggotanya yang hal ini jelas tidak efektif. Kehadiran mahasiswa dalam MWA bertujuan untuk memastikan bahwa suara mereka didengar dan kebutuhan mereka dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Tanpa keterlibatan mahasiswa, solusi yang dihasilkan mungkin tidak relevan dengan masalah yang mereka hadapi sehari-hari. Masalah di lingkup kampus sering kali bagaikan fenomena gunung es, dimana hanya sebagian kecil yang terlihat di permukaan. Banyak masalah mendasar yang tersembunyi di bawah permukaan dan tidak terlihat oleh pemangku kebijakan. Masalah-masalah ini meliputi berbagai aspek kehidupan kampus, mulai dari akademik, fasilitas, kesejahteraan mahasiswa, hingga dinamika sosial. Tanpa keterlibatan langsung mahasiswa, banyak dari masalah ini yang mungkin tidak teridentifikasi atau diabaikan. Oleh karena itu, partisipasi mahasiswa dalam MWA sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan birokrasi kampus tidak merugikan mereka serta seluruh stakeholder kampus. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FKM Unhas memandang bahwa sistem delegasi baru diperlukan. Dalam sistem ini, individu yang diutus haruslah seseorang yang dipercaya untuk membawa nama dan menyuarakan keresahan mahasiswa. Selain itu, penting bagi delegasi tersebut untuk tidak bekerja sendirian guna menghindari risiko intervensi dan penundukan oleh pihak manapun. Delegasi haruslah seorang patron yang didorong dan didukung oleh masyarakat mahasiswa itu sendiri, bukan seorang elit yang naik karena dukungan dari oligarki atau afiliasi tertentu. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa perwakilan mahasiswa benar-benar mencerminkan aspirasi dan kepentingan mahasiswa, bukan kepentingan kelompok tertentu.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Alpian, Y., Anggraeni, S. W., Wiharti, U., & Soleha, N. M. (2019). Pentingnya pendidikan bagi manusia. Jurnal buana pengabdian, 1(1), 66-72.

     A., M. M. (2016, July 25). Merebut Hak Atas Kampus. https://indoprogress.com/2016/07/merebut-hak-atas-kampus/ (diakses pada 25 Juni 2024)

Nulhaqim, S. A., Heryadi, D., Pancasilawan, R., & Ferdryansyah, M. (2016). Peranan perguruan tinggi dalam meningkatkan kualitas pendidikan di indonesia untuk menghadapi asean community 2015. Share: Social Work Journal6(2).

 

 

 

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top