
“Perempuan dalam Etalase Neolib
Riuh pasar yang tajam bergema,
rupiah dihitung di tubuh manusia.
Janji kebebasan, kemakmuran semu,
menyisakan beban di pundak perempuan itu.
Rambutnya bagai sungai jatuh ke bumi,
suara lirih mengalun sehalus seruling bambu.
Namun neolib menulis harga
di kulit dan jiwanya sendiri,
seolah perempuan hanyalah etalase
bagi lalu-lalang waktu.
Di luar etalase yang menyilaukan,
masih terdengar suara tertahan:
“Aku bukan komoditas, aku manusia.
Meski neolib menamai aku laba.”
Dan mungkinkah tercipta dunia
di mana nilai tak hanya uang semata?
Di sana perempuan bukan sekadar angka,
melainkan jiwa, penggerak, dan cerita.
Tentang puisi: puisi ini menggambarkan bagaimana sistem ekonomi neoliberalisme yang menjanjikan kebebasan dan kemakmuran malah justru meminggirkan dan membebani Perempuan. Ini sebagai bentuk seruan untuk membayangkan dunia alternatif yang lebih adil dan manusiawi