Pres Release: Selamat Datang Dompet Baru Unhas

Sekilas terdengar sebagai candaan, tapi di baliknya ada lapisan kritik sosial-politik yang mendalam. Ucapan ini lahir bukan menjadi salah satu bentuk tendensius untuk menyerang ke salah satu fakultas manapun, tetapi secara sadar dan nyata bagaimana pandangan yang diberikan secara umum kepada Universitas Hasanuddin atas kegelisahan mahasiswa terhadap realitas pendidikan tinggi yang semakin tunduk pada logika neoliberalisme.

Dalam kerangka neoliberalisme, pendidikan tidak lagi ditempatkan sebagai hak dasar warga negara, melainkan sebagai komoditas yang dijual di pasar. Kampus beroperasi layaknya korporasi: menghitung pemasukan, memangkas biaya, membidik “pangsa pasar” baru, dan mencetak lulusan yang siap diserap industri. Dalam sistem ini, mahasiswa dipandang bukan pertama-tama sebagai insan pencari ilmu, melainkan sebagai pelanggan dan sumber pendapatan tetap.

Di Universitas Hasanuddin, seperti halnya kampus-kampus dengan status PTN-BH lainnya, mekanisme itu tampak nyata. Mahasiswa baru disambut dengan sistem UKT yang harus dibayarkan rutin setiap semester, ditambah biaya administrasi, dan terkadang kewajiban membeli barang/jasa tertentu yang disediakan kampus atau mitra komersialnya. Belum lagi kerjasama dengan korporasi yang berorientasi profit, dan riset yang diarahkan untuk pasar ketimbang untuk kepentingan publik.

Di sinilah frasa “dompet baru” menjadi sindiran. Ia menggambarkan bahwa setiap mahasiswa baru ibarat pasokan “modal segar” bagi institusi. Kedatangan mereka berarti ada ribuan setoran baru yang akan mengalir, menopang operasional dan ekspansi kampus. Kritiknya jelas: pendidikan telah diperlakukan sebagai mesin uang, bukan ruang pembebasan.

Jika dibaca dari perspektif teori kelas Erik Olin Wright, posisi mahasiswa di sini adalah kelas yang tidak memiliki kendali atas “alat produksi pendidikan”, kebijakan UKT, distribusi dana, maupun arah pengembangan kampus. Sementara pihak kampus dan aktor ekonomi yang bermitra memegang posisi dominan, mengatur harga dan akses. Mahasiswa menjadi bagian dari struktur yang berputar terus menerus dalam siklus ketimpangan itu.

Maka, ucapan “Selamat Datang Dompet Baru Unhas” adalah bentuk peringatan dini. Ia mengajak mahasiswa baru untuk segera sadar bahwa mereka tidak sekadar masuk ruang belajar, tetapi juga masuk ke dalam sebuah sistem yang sarat logika pasar. Ia mendorong lahirnya kesadaran kritis: bahwa tugas mahasiswa bukan hanya lulus dan bekerja, tetapi juga mengawal agar kampus kembali menjadi ruang publik yang memerdekakan, bukan mesin komersialisasi yang sarat akan penindasan.

Scroll to Top