
Kembali terjadi peristiwa tidak terpuji di salah satu Fakultas Universitas Hasanuddin akibat relasi kuasa, kali ini melibatkan seorang mahasiswi dan Firman Saleh sebagai dosen sekaligus pelaku kekerasan seksual yang dilakukan saat mahasiswi tersebut melakukan bimbingan skripsi di ruangannya pada tanggal 25 September 2024. Jenis kekerasan seksual yang terlapor lakukan ada pada Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 Pasal 5 ayat 2 poin (l) yaitu “menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban”.
Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Unhas telah memberikan rekomendasi sanksi berupa: “Pemberhentian Jabatan sebagai Ketua Gugus Penjamin Mutu dan Peningkatan Reputasi Fakultas Ilmu Budaya dan Pembebasan Sementara dari Tugas Pokok dan Fungsi sebagai Dosen yaitu selama 2 Semester yaitu Semester Akhir tahun 2024/2025 dan Semester Awal Tahun Akademik 2025/2026.” yang kemudian dalam perjalanannya Prof. Farida mengatakan bahwa sanksi pemberhentian sementara menjadi 3 semester. Pemberian sanksi tersebut dinilai belum sepenuhnya mencerminkan keadilan yang seharusnya diterima oleh korban, sebagaimana disampaikan dalam press release PPKS Unhas bahwa kekerasan seksual yang dilakukan masuk dalam kategori berat. Tapi Apa? Sanksi yang diberikan hanya sampai pada sanksi administratif sedang yaitu “pemberhentian sementara”, trauma yang diterima pasca kejadian tersebut sangat menyakiti korban sampai korban takut untuk melanjutkan aktivitas akademiknya di kampus. Dimana sanksi yang diterima Firman Saleh dipandang sangat tidak sesuai dengan kerugian yang diperoleh korban. Belum lagi masalah ketakutan karena relasi kuasa yang hadir, dalam kasus ini Firman Saleh memiliki kekuatan yang sangat besar yang menciptakan stereotip terhadap perempuan apalagi korban adalah anak bimbingannya yang sangat gampang diancam dalam hal nilai dan bimbingan skripsi kedepan-nya.
Korban yang dipandang kurang memiliki kekuatan atau posisi yang dominan sering kali menjadi target intimidasi. Bahkan, pelaku memanfaatkan kekuatan fisiknya yang jauh lebih besar dibanding korban, membuat korban kesulitan melepaskan diri dari tindakan pelaku.
Melihat hal ini, kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi sangat dipengaruhi oleh relasi kuasa yang hadir antara korban dan pelaku. Tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa budaya patriarki juga mengambil peran sakral yang melingkupi masyarakat. Selain itu muncul victim blaming yang diterima korban dalam penanganan kasus dimana dalam pemanggilan kedua korban disebut oleh salah satu dosen yang menangani kasus ini bahwa korban hanya “halusinasi” yang menyebabkan korban merasa disudutkan.
Kemunculan victim blaming terhadap korban pelecehan seksual mencerminkan adanya kurangnya pemahaman serta stigma negatif yang masih mengakar di masyarakat. Saat korban mencoba melaporkan kasus mereka, respons yang diterima seringkali berupa tuduhan yang menunjukkan kurangnya empati dan kesadaran akan beratnya kekerasan yang mereka alami.
Oleh karena itu, Dialog Publik yang dilakukan di Aula Prof. Mattulada FIB-UH (22/11/2024) menuntut keadilan tersebut yaitu peninjauan kembali atas Sanksi yang diberikan untuk memberikan Sanksi Administratif Berat seperti yang terdapat pada Permendikbud Ristek No.30 Tahun 2021 Pasal 14 Ayat 4 poin (b) yaitu “pemberhentian tetap dari jabatan sebagai Pendidik Tenaga Kependidikan, atau Warga Kampus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dari Perguruan Tinggi yang bersangkutan.” perwakilan lembaga mahasiswa dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin mendorong pihak birokrasi untuk menunjukkan keseriusan mereka dalam menangani kasus kekerasan seksual. Mereka mengusulkan penandatanganan pakta integritas yang mencakup komitmen untuk menyelesaikan kasus secara menyeluruh dan memberikan sanksi berat kepada pelaku, termasuk pemecatan.
Namun, usulan ini ditolak oleh pihak birokrasi dengan alasan bahwa penandatanganan pakta integritas tidak sesuai dengan wewenang mereka. Mereka menegaskan bahwa penanganan kasus harus mengikuti prosedur resmi yang telah ditetapkan oleh aturan universitas. Selain itu, birokrasi menyatakan kesediaannya untuk memberikan pendampingan hukum kepada korban jika laporan disampaikan melalui jalur yang benar sesuai peraturan yang berlaku.
Sebagai respons atas kasus ini, BEM FKM UNHAS menyatakan sikap tegas. Tidak ada ruang untuk menerima atau mentoleransi segala bentuk kekerasan seksual di lingkungan kampus, baik yang dilakukan oleh dosen, mahasiswa, maupun seluruh civitas akademika lainnya. Kekerasan seksual mencederai martabat korban, merusak iklim akademik, dan bertentangan dengan nilai-nilai institusi. Universitas harus menjadi tempat yang aman dan menghormati hak setiap civitas akademika.
Dialog publik tersebut memperkuat tuntutan kolektif untuk meninjau kembali sanksi yang dijatuhkan dan memastikan pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Kampus sebagai institusi pendidikan harus menunjukkan komitmen nyata dalam menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan seksual, bukan hanya janji manis yang pada realitanya miris.
Sumber:
Saputra, M. I., Norfazilah, N., Ramadhani, A., & Marlina, A. (2024). Ketimpangan Relasi Kuasa Dalam Kasus Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Amsir Law Journal, 5(2), 93–105.
Makassar Tribunnews. 2024. Prof Farida Ungkap Sanksi Skorsing FS, Keputusan Ada di Tangan Rektor Unhas. Diakses pada: https://makassar.tribunnews.com/2024/11/22/prof-farida-ungkap-sanksi-skorsing-fs-keputusan-ada-di-tangan-rektor-unhas#google_vignette
MetroTV. 2024. Dosen Unhas Pelaku Pelecehan Seksual ke Mahasiswinya Dinonaktifkan. Diakses pada: https://www.metrotvnews.com/read/koGCR0J0-dosen-unhas-pelaku-pelecehan-seksual-ke-mahasiswinya-dinonaktifkan
Detiksulsel.2024. Unhas Skors Oknum Dosen FIB Diduga Lecehkan Mahasiswi Saat Bimbingan Skripsi. Diakses pada: https://www.detik.com/sulsel/makassar/d-7644979/unhas-skors-oknum-dosen-fib-diduga-lecehkan-mahasiswi-saat-bimbingan-skripsi
Permendikbud Ristek No.30 Tahun 2021