Surga Dunia Digadaikan Oleh Janji Manis

Share it

Di sebuah desa pesisir bernama Nirwana, tersembunyi surga dunia yang belum banyak tersentuh tangan manusia. Keindahannya bak lukisan alam yang hidup. Pantai berpasir putih, laut biru yang memantulkan cahaya mentari, dan hutan tropis yang dipenuhi keanekaragaman hayati. Terpilihnya “Nirwana” sebagai nama desa tersebut bukan tanpa alasan. Sesuai dari arti kata nirwana ketentraman sempurna bagi setiap wujud eksistensi, begitu pula arti kehadiran desa ini bagi setiap penghuninya. Keselarasan antara makhluk hayati dan penduduk didalamnya menggambarkan ketentraman dan kesempurnaan bak kehidupan yang dijanjikan di surga. Penduduk asli yang tinggal di sana hidup selaras dengan alam, menjaga dan merawat tanah mereka dengan cinta dan hormat. Namun, kedamaian itu mulai terganggu ketika sebuah perusahaan tambang besar masuk ke desa tersebut.

Sebuah perusahaan besar, yang didukung oleh negara asing, melirik potensi ekonomi dari keindahan pulau itu. Dengan dalih pembangunan dan kemajuan, perusahaan tersebut mengajukan proyek besar-besaran: resor mewah, pusat perbelanjaan, hingga lapangan golf bertaraf internasional. Mereka berjanji akan membawa kemakmuran bagi penduduk lokal, menciptakan lapangan kerja, dan memajukan infrastruktur pulau.

Benturan ombak menyentuh kaki seorang pemuda yang berdiri dengan gagah. Nuga, seorang pemuda desa penuh dengan mimpi tinggi berharap keindahan surga dunia yang ada di desa tempat kelahirannya dapat dilirik dunia menaruh harapan besar kepada kehadiran perusahaan tersebut. “Pak Satria, perusahaan ini katanya akan membawa kemajuan bagi kita. Mereka bilang ada lapangan kerja, gaji besar, dan juga tempat-tempat bagus yang bisa menarik turis. Bukankah itu bagus?”. Berdiri tepat di hadapannya seorang pria paruh baya yang sedang memperbaiki jaring di atas kapal yang sedang berlabuh. “Kau tahu, Nuga, janji kemakmuran memang selalu indah. Tapi lihatlah sekitar. Untuk apa kita korbankan semua keindahan ini dengan perubahan yang justru menodai kesucian alam? Alam ini bukan untuk dieksploitasi, Nak. Dia punya batas.”

Kehidupan bagaikan di surga seolah-olah tidak dapat memuaskan warga desa Nirwana. Mereka menggadaikan kebahagiaan tersebut demi menjemput janji manis perusahan yang bahkan keniscayaaan bagaikan pungguk merindukan bulan. Warga desa, yang awalnya enggan, akhirnya setuju karena iming-iming keuntungan yang dijanjikan. Tak lama kemudian, alat-alat berat mulai berdatangan dan menggerus hutan yang selama ini menjadi paru-paru desa, merebut kesucian pantai berpasir putih, serta ragam hayati di bawah laut kehilangan tempat berlindung.

Seiring berjalannya waktu, dampak negatif mulai terlihat. Sungai yang dulunya bersih sekarang penuh dengan limbah tambang yang berwarna keruh dan berbau tak sedap. Ikan-ikan mati mengambang di permukaan, menghilangkan sumber protein utama warga. Selain itu, suara mesin-mesin berat membuat hewan-hewan hutan kehilangan habitatnya. Burung-burung yang biasa terdengar berkicau di pagi hari mulai menghilang, dan beberapa spesies satwa lokal terancam punah karena hilangnya tempat tinggal.

Warga desa mulai menyadari bahwa janji kesejahteraan dari perusahaan hanyalah ilusi. Kehidupan mereka justru semakin sulit. “Mereka datang bukan untuk membantu, tapi untuk mengambil. Seharusnya kita dengar ucapan pak Satria sebelumnya,” ucap Tara salah satu istri seorang nelayan yang kini kehilangan mata pencaharian karena laut enggan bersahabat akibat ulah pembangunan tersebut. Air bersih menjadi barang langka, tanah tak lagi produktif, dan penyakit mulai menjangkiti anak-anak akibat pencemaran udara. Ditengah pertemuan di balai desa pemimpin perusahaan berusaha meluruskan keresahan warga. “Ibu, semua itu sementara. Setelah pembangunan selesai, kami jamin lingkungan akan lebih bersih, dan kemakmuran akan datang. Keberadaan kami di sini adalah kesempatan besar untuk kalian semua,.” ucap Mr.Neo yang penuh wibawa, untuk kesekian kalinya pandai meyakinkan warga desa.

Pembangunan tetap berjalan tetapi janji manis yang disepakati warga desa sebelumnya bak menjual bedil kepada lawan. Keputusan yang mereka ambil mencelakai desa tempat kelahiran mereka sendiri dan seisinya. Pohon-pohon ditebang, terumbu karang rusak akibat pembangunan dermaga, dan limbah konstruksi mulai mencemari laut. Para wisatawan mulai berdatangan, tetapi hanya sedikit yang benar-benar peduli pada lingkungan atau budaya lokal. Sebagian besar justru datang hanya untuk menikmati “surga” baru yang dibentuk dengan kemewahan dan eksklusivitas. Sementara itu, warga asli terpinggirkan dari tanah mereka sendiri. Hanya sedikit yang diterima bekerja, dan sebagian besar mendapat gaji minim yang tak sebanding dengan biaya hidup yang semakin tinggi.

Nuga, yang awalnya memiliki harapan besar pada perubahan demi mencapai penghasilan yang cukup, merasa menyesal. Ia berusaha mengumpulkan warga untuk menuntut tanggung jawab perusahaan. Namun, perusahaan asing itu tidak mau begitu saja menghentikan operasinya. Mereka menggunakan pengaruh dan kekuatan hukum untuk tetap beroperasi, dengan alasan telah mendapatkan izin dari pemerintah.

Desa Nirwana, yang dulunya penuh kedamaian dan kelestarian alam, kini tinggal kenangan. Suatu sore, sesuatu yang tak terduga terjadi. Tanah di pulau itu mulai mengalami keretakan dan longsor kecil. Laut yang dulu tenang mulai bergejolak dengan gelombang yang tak biasa. Hingga akhirnya, pada suatu malam, badai besar menghantam pulau Nirwana. Gelombang tinggi dan angin kencang memporak-porandakan bangunan-bangunan mewah yang baru selesai dibangun. Banyak penduduk lokal yang harus kehilangan sanak saudaranya karena menjadi korban dari hadirnya badai tersebut. Resor mewah itu hancur dalam semalam, meninggalkan reruntuhan dan kepiluan di mata penduduk lokal.

Ketika badai mereda, para petinggi perusahaan segera bergegas meninggalkan pulau dengan kerugian besar. Bagi mereka, proyek ini tak lagi menguntungkan. Tapi bagi penduduk lokal, pulau Nirwana telah berubah selamanya. Hutan yang dulu lebat telah hilang, dan laut yang dulu jernih telah tercemar.

Nuga, Pak Satria, Ibu Tara, dan penduduk yang selamat dari dari badai berdiri di tepi pantai yang dulu indah, menatap puing-puing bangunan yang berserakan. “Pak Satria, yang Bapak bilang benar. Bangunan-bangunan itu runtuh. Badai itu seperti pertama kekecewaan dan kemarahan dari alam, Kita merusak terlalu banyak,” ucap Nuga dengan tatapan kosong. Ia tahu, alam pulau itu sedang memberi peringatan. “Apa kita masih bisa memulihkan pulau ini, Pak? Apa kita bisa mengembalikan semuanya seperti dulu?” lanjut Tara yang kini hidup menjanda karena suaminya menjadi salah satu korban dari badai saat pergi melaut. “Walaupun butuh waktu panjang. Ini pelajaran yang mahal. Hanya saja, semoga kelak kita dan mereka yang datang sesudah kita lebih bijaksana pada alam ini,” ucap Pak Satria mencoba menguatkan warga desa yang tersisa. Kini, para penduduk harus memulai dari awal, menjaga apa yang tersisa, dan berharap suatu hari nanti pulau Nirwana bisa kembali menjadi surga dunia yang sesungguhnya tanpa campur tangan mereka yang hanya datang untuk mengambil.

Sumber: Terinspirasi dari film dokumenter “kutukan nikel“ https://youtu.be/D3UwwbrhK8I?si=MYP-OIsZSdfC1ZQW

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top